Destiny?

Jangan berharap ini akan menjadi kisah dengan akhir bahagia atau kisah seperti kisah-kisah telenovela lainnya. Atau ini memang seperti itu? Terserah bagaimana kalian menilainya. Tapi ini adalah kisahku.
***
Aku bertemu dengannya saat kelas 1 SMA. Ya, kami adalah murid baru di SMA yang cukup bergengsi ini. Kami tidak saling mengenal. Tentu saja. Kami berbeda ruangan saat masa orientasi dulu. Bahkan aku tidak pernah berpapasan dengannya sedikitpun.
***
Masa orientasi telah berlalu. Ternyata kami dipertemukan di kelas yang sama. Aku tertarik? Bagaimana bisa? Tingginya saja dulu sama sepertiku. Wajahnya bahkan lebih imut dari wajahku.
Sungguh kalian salah jika berpikir aku tertarik padanya dari awal. Mungkin kalian bisa menyebut itu rasa kagum. Aku yakin sekali itu hanya suatu kekaguman padanya yang begitu--tidak bisa dijelaskan. Atau lebih tepatnya tidak bisa aku jelaskan.
Diawal masa SMA ku bahkan aku lebih tertarik pada temannya yang lebih tinggi dan tampan--tentu saja. Apa yang membuatnya menarik? Sepertinya tidak ada. Atau aku yang tidak sadar? Atau keduanya, aku yang tidak sadar kalau tidak ada yang menarik darinya?
***
Dari dulu yang aku tidak paham dari sekolahku. Tidak ada rolling tiap kenaikan kelas. Yang sedikit aku syukuri karena aku malas harus kembali beradaptasi. Dan mungkin ini juga suatu keberuntungan untukku. Bisa selalu berada dalam radius yang sama dengannya. Apalagi saat kami mulai berbicara satu sama lain.
***
Sayangnya saat itu aku masih juga menyukai temannya yang tampan dan tinggi. Aku tidak berbohong akan hal itu. Bahkan hampir selama tiga tahun aku hanya menyukai temannya itu. Walaupun memang ada beberapa adik kelas yang pernah jadi incaranku.
Aku tidak se-player--atau apapaun sebutannya--itu. Aku hanya mengincar mereka. Tidak benar-benar berniat menjadikan salah satu dari mereka pacar. Bahkan temannya itu hanya sampai batas khayalanku tentang kisah remaja SMA. Karena, aku punya prinsip. Yang tidak perlu kalian tahu.
***
Aku mendengar desas-desus itu. Bahkan aku membuktikannya sendiri. Yang aneh adalah aku merasa kosong. Bukan. Bukan kosong yang berlebihan. Semacam kehilangan mungkin. Karena, sesungguhnya selama 2 tahun belakangan kami dekat. Dan tiba-tiba saja dia sudah punya tambatan hati.
Aku? Patah hati? Mungkin ya. Sedikiit saja tapi. Aku tidak bohong. Karena, mungkin seperti kehilangan teman yang sudah lama berada di dekatmu. Dan aku sungguh mulai terbiasa kalau dia sudah memiliki tambatan hatinya. Karena, yang aku percayai di hatikupun saat itu aku memang menyukai temannya yang tampan dan tinggi.
***
Sebut saja klise atau semacamnya. Atau bahkan tidak masuk akal. Dua tahun adalah waktu yang cukup untuk perubahan fisik. Apalagi delapan tahun. Waktu yang tidak singkat dilalui seorang manusia.
***
Kami kembali dipertemukan di acara reuni akbar itu. Dia bersama temannya yang tampan dan tinggi dan beberapa teman kami yang lain saat sekelas dulu. Salah satu teman kami memanggil namaku dan mengajakku bergabung. Yang tidak aku tolak ajakannya.
Saat melihatnya dari dekat, pesona itu datang lagi dan menghantamku telak saat itu. Akupun tidak sadar sejak kapan benih itu muncul. Tapi saat itu aku sadar aku mencintainya.
***
Disinilah kami sekarang. Setelah lima bulan berlalu dari acara reuni itu. Berdiri bersisian. Sama-sama tersenyum pada tiap orang yang memberi kami selamat. Bahagia melingkupi kami. Sesederhana itu.
***
Aku tidak pernah paham dengan penciptaku. Segala yang aku rencanakan kadang tidak berjalan sesuai rencana. Tapi aku bersyukur atas segala rencana-Nya yang begitu indah pada hidupku. Karena sekarang aku bahagia. Bahagia dengan suamiku, imamku dan ayah dari anak-anakku nanti. Dia yang tidak pernah aku duga akan menemaniku menjalani sisa hidupku ini bersama dengan keluarga yang akan kami bangun nanti.... Karena sekarang aku bahagia. Dan aku do'akan kalian mendapat kebahagiaan kalian. Karena sesungguhnya bahagia itu sederhana. Sesederhana kisahku ini
***
END

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Backstabber

Not Saying Word