Obsessed or What?

Hari pertama di SMA sebagai seorang murid baru. Namaku Anjani Putri. Kalian bisa memanggilku Jani. Aku seorang siswi SMA ternama yang baru saja melewati masa-masa SMP yang menyenangkan-menurutku. Aku punya seorang teman yang cukup cerewet kalau boleh dibilang. Namanya Karina Putri. Mirip bukan? Tapi sungguh keluarga kami berbeda. Aku dan dia sudah menjadi teman sejak kelas 6 SD dan akhirnya menjadi sahabat setelah melewati masa putih biru selama 3 tahun. Oke, cukup perkenalanku.
***
Gue Raditya Pratama. Cowok paling tampan di SMP gue dulu. Untuk sekarang? Di SMA ini? Sepertinya gue tetep yang paling tampan. Ada masalah dengan itu? Gue bukan playboy. Dengan ketampanan gue ga heran kalo banyak cewek yang dengan mudahnya terpesona. Dan gue hanya memanfaatkannya. Ada yang salah dengan memanfaatkan kelebihan yang kita miliki? Oke, cukup perkenalannya karena gue sedang terburu-buru menuju kelas gue.
***
BRUK!
Aih.... sial banget sih. Udah telat. Belum nemu kelas. Pake nabrak pula. Ni orang jalan ga pake mata kali ya? Kataku dalam hati.
"Lo jalan liat-liat dong. Pake matanya. Main nabrak-nabrak aja." Kata seseorang yang aku yakin cowok dari nada suaranya.
"Sorry ya... harusnya gue yang bilang gitu sama lo. Lagian lorong ini lebar kali dan gue udah jalan di pinggir. Lo kali yang jalan ga pake mata!" Balasku tersulut emosi.
"Ah... udahlah. Ga penting banget tau ga? Gue buru-buru." Kata cowok itu melewatiku begitu saja tanpa mengucapkan maaf sama sekali.
Hei! Dimana sopan santun ni orang. Belagu banget! Rutukku dalam hati.
"Heh! Cowok ga punya etika. Minta maaf lo sama gue." Kataku sempat menarik bajunya. Dia berbalik. Menatapku malas.
"Mau banget gue minta maaf?"
"Iyalah. Orang lo yang salah."
"Lo yang ngalangin jalan gue. Harusnya lo yang minta maaf."
"Enak aja. Minta maaf ga lo sekarang!"
"Ogah!" Katanya tepat di depan mukaku. Sial! Wajahku tidak pernah sedekat ini dengan cowok. Tanpa sadar aku memundurkan kepalaku dan menatapnya tepat di mata. Well, dia tidak buruk--kalau bisa di bilang tampan--juga.
"Lo terpesona kan liat gue? Udah ah. Gue bener-bener buru-buru. Sampai ketemu lagi cewek aneh." Katanya mengangkat tangan membelakangiku. Sejak kapan dia pergi? Oke. Aku memang menyadari kalau dia melambai padaku tadi. Tapi kenapa responku lambat begini?
Cowok rese. Sok kecakepan. Nyebelin. Arrrgh... baru hari pertama juga. Masa gue udah telat kena sial pula. Mana ya kelasnya? Batinku kesal sekaligus bingung karena sampai sekarang aku tidak bisa menemukan kelasku.
"Kamu sedang apa disini? Kenapa tidak masuk kelas?" Tanya seorang guru menghampiriku.
"Err.... saya tidak bisa menemukan kelas saya, Bu." Kataku menunduk.
"Oh begitu. Memangnya kamu kelas berapa?"
"X-E, bu.." jawabku.
"Kebetulan sekali. Ibu yang akan menjadi wali kelasmu. Mari ibu antar kamu sekalian."
"Wah! Terima kasih banyak, bu."
***
Baru saja gue mencapai bangku yang belum terisi dan akan bertos ria dengan Nara, temen gue dari SMP. Seorang guru masuk dan suasana kelas langsung hening seketika. Dibelakangnya seorang cewek yang pastinya murid baru berjalan dengan kepala tertunduk.
"Pagi semua." Sapa guru itu yang belum gue tau namanya.
"Pagi, buu...." jawab kami serempak. Seperti anak SMP saja. Tapi gue sih maklum karena, kita semua disini emang baru lulus SMP. Saat cewek itu mengangkat kepala, gue melihatnya. Manis juga dia kalau dilihat-menurut gue. Dia mengedarkan pandangannya dan....tatapan kami bertemu.
***
Dia disini. Cowok itu sekelas sama gue? Oh shit! Batinku dalam hati masih menatapnya sebelum akhirnya Bu Lisa--yang sudah memperkenalkan diri-- menyadarkanku.
"Nah! Jani, kamu bisa duduk di tempat yang kamu suka."
"Eh...oh iya, bu. Terima kasih." Jawabku. Sekali lagi aku memandang sekeliling dan melihat Karin melambaikan tangannya.
Thanks God! Itu dia Karin. Batinku dan mulai berjalan menuju meja Karin. Aku tidak sadar kalau ternyata cowok itu duduk tepat di depan meja kami.
***
Cewek itu berjalan kearah gue. Yaampun segitu terpesonanya ni cewek ama gue. Ampe nyamperin gue segala. Saat gue tersenyum mengejek menatapnya, dia berjalan melewati gue seperti tidak peduli. Dan berhenti tepat dibelakang gue.
Hahahaha! Pasti lo bakal berbalik dan menyapa gue. Batin gue senyum-senyum sendiri.
"Oi! Masih pagi kali udah ngelamunin yang iya-iya aja lu." Kata Nara menepuk pundak gue.
"Apaan sih? Yang iya-iya? Itumah elo kali." Jawab gue menoyor kepalanya.
"Enak aja. Ngelamun apa lo emang?"
"Gue ga ngelamun." Kata gue. Cewek itu tidak menghampiri gue seperti yang gue duga. Gue malah mendengar suara cekikikan di belakang gue. Saat gue menengok kebelakang cewek itu juga menengok kearah gue.
Oh crap! Untung ga ada yang liat. Bisa tengsin gue kalo ada yang nyadar kalo gue tadi kepedean. Batinku.
***
"Ngapain lo ngeliatin gue kayak gitu?" Tanyaku membalas tatapannya yang memperhatikanku.
"Engga. Pede banget lo. Cewek aneh."
"Enak aja cewek aneh. Elo tuh. Cowok narsis sok kecakepan." Balasku tidak terima karena ejekannya.
"Gue emang cakep kali. Lo aja ampe terpesona kan ama gue?"
"Ga usah kepedean deh lo. Cakep? Dari sebelah mana?" Tantangku lagi.
"Kalian berdua! Bisa tenang sedikit? Atau salah satu dari kalian ingin mengajukan diri menjadi ketua kelas."
"Eh... tidak, bu. Maaf." Kataku menganggukan kepala meminta maaf.
"Kalau begitu tolong jangan berisik."
"Baik, bu."
***
KRIIING!
"Akhirnyaaa hidup." Kata Karin lebay.
"Lo kan emang masih hidup, Rin. Dasar lebay." Kataku sambil membereskan barang-barangku yang berserakan diatas meja.
Ini hari pertamaku sebagai murid SMA jadi tidak banyak yang dilakukan selain acara perkenalan dan pemberitahuan jadwal pelajaran. Intinya sekarang seluruh murid kelas X pulang lebih cepat. Dan kesempatan ini akan aku manfaatkan untuk pergi ke Gramedia tentunya dengan mengajak Karin.
"Karin, lo bisa kan hari ini?"
"Bisa kok. Tapi kita langsung aja nih? Ga balik dulu gitu?"
"Ngapain? Jangan bilang lu ga bawa baju ganti."
"Engga kok. Gue bawa. Cuma apa kita ga makan dulu?"
"Yaampun... baru jam 11 dan lo udah laper?"
"Lebay deh lo. Lagian jam 11 kan udah hampir memasuki jam makan siang. Jadi wajar keles kalo gue laper."
"Hhh... iya deh iya. Suka-suka lu. Makan di kantin aja gimana? Kalo makan di pinggir jalan ato cafe pasti lebih mahal makannya."
"Mana aja boleh. Kan lo yang bayar kan?" Katanya bangkit.
"Enak aja. Bayar masing-masing kelees." Kataku melengos.
"Yaelah. Kan lu yang ngajak. Sekali-kali napa, Jan."
"Hhh....iya deh. Ayo buruan. Pasti udah penuh nih kantinnya."
"Ayok!" Kata Karin berjalan mendahuluiku.
"Nyeeh... makan aja lu paling depan. Dasar."
***
Gue melihat sekeliling kantin. Sesungguhnya ga ada makanan yang menarik perhatian gue dan juga cacing dalam perut gue. Tapi dibagian tengah ada tempat yang sudah tidak dikerubungi oleh anak-anak. Karena gue penasaran gue berjalan mendekat dan melihat makanan yang cukup membuat cacing di perut gue tergoda.
"Bu, saya pesen katsu satu."
"Bu, saya pesen katsu-nya." Kata seorang cewek yang berdiri disebelah gue secara berbarengan. Kami saling bertatapan sengit.
Cewek ini lagi. Batinku. Sampai ibu yang jualan katsu menyadarkan kami.
"Maaf, katsu-nya tinggal satu."
"Saya yang pesen duluan. Jadi katsu itu untuk saya." Kata gue cepat.
"Eh...ga bisa gitu. Gue nyampe duluan dan gue yang pesen lebih dulu. Iya kan bu?" Tanya Jani meminta persetujuan.
"Eh... sebenernya tadi kalian pesen samaan." Kata si ibu katsu.
"Yaudah. Buat saya aja." Kata gue memaksa.
"Kok gitu sih lu? Ngalah dong sama cewek. Ga gentle banget."
"Ga gentle lo bilang? Coba bilang sekali lagi!"
"Ah...udahlah. buang-buang waktu. Katsu-nya buat dia aja, bu." Katanya kepada ibu katsu dan berbalik pergi.
Eh? Segitu aja? Aish... apa sih gue? Baru juga kenal sebentar udah kayak gini. Batin gue bingung.
"Nak, katsu-nya jadi tidak?"
"Eh? Jadi, bu." Jawab gue sekilas.
Sebenernya gara-gara hampir berantem ama tu cewek gue jadi ga berselera makan lagi. Tapi kan kasihan ibu katsunya.
***
Aku kembali ke meja kami--aku dan Karin.
"Lo ga jadi beli katsu?"
"Engga. Katsunya abis." Kataku berbohong. Eh... tidak sepenuhnya bohong juga kan? Katsunya memang tinggal satu dan aku malas mengeluarkan energi untuk berdebat dengan cowok nyebelin dan narsis macam Tama.
"Kenapa ga beli yang lain?"
"Udah ga berselera." Kataku melihat ke arah lain.
"Nih!" Kata Karin menyodorkan mangkuk baksonya padaku.
"Ga ah. Ga tertarik." Kataku mendorong kembali mangkuk bakso itu kepada Karin dan melihat berkeliling. Aku melihat Tama dengan temannya, Nara. Dia belum menyentuh katsunya dan itu membuatku kepingin. Sebenarnya bukan aku tidak berselera makan. Hanya saja aku benar-benar ingin katsu itu. Tapi seperti yang aku bilang. Aku sedang malas berdebat.
***
Gue beneran kehilangan selera makan. Nara yang melihat gue pun jadi heran.
"Eh... dimakan kali tuh. Kalo ga mau buat gue aja sini." Katanya mencoba menarik piringku.
"Enak aja. Beli sendiri sana." Kata gue menepis tangannya. Dan melihat sekeliling. Jani tengah memperhatikan gue. Oke ralat! Dia tengah memperhatikan makanan gue.
***
"Nih!"
Tiba-tiba sepiring katsu hadir di depanku.
Perasaan kan tadi ga jadi pesen katsu. Masa iya gue berhalusinasi? Batinku dalam hati.
"Udah makan aja. Ga usah diliatin terus." Kata cowok yang mulai aku hafal suaranya.
"Ga usah. Gue udah ga laper." Kataku.
"Gimana gue bisa makan kalo lo ngeliatin makanan gue dari jauh kayak gitu." Katanya lagi.
"Ngeliatin gimana? Orang gue lagi ngeliatin hal lain."
"Iya. Gue tau kok. Lu juga lagi menikmati muka gue kan? Udahlah. Gue ikhlas. Nih makan."
"Ish...dasar Tama narsis. Gue udah ga laper dibilang."
"Tama? Gue kan memperkenalkan diri sebagai Adit tadi. Ah... panggilan khusus. Gue suka itu. Makan aja kenapa sih?"
"Iya makan aja lagi, Jan. Mumpung gratis. Kalo lu ga mau buat gue sini." Kata Karin menatap makananku penuh minat.
"Eh! Jangan dong. Gue kan juga laper, Rin." Kataku mulai menyendok nasi di piringku.
***
Dasar! Cewek aneh. Bilangnya ga mau. Malah dimakan juga. Batin gue memperhatikannya yang makan dengan lahap.
"Apa lo? Ga pernah liat orang makan ya?" Tanyanya lupa berterima kasih atas kebaikan gue. Bukannya gue pengen dipuji atau apa. Tapi kan harusnya dia bisa bersikap lebih lembut.
"Iya. Lebih tepatnya ga pernah liat orang makan dengan lahap melupakan kejadian yang telah terjadi." Sindir gue. Seketika dia terbatuk dan gue reflek menyodorkan es teh yang ada disebelahnya.
"Uhuk... Sorry. Uhuk... makasih ya." Katanya menepuk-nepuk dadanya.
"Pelan kali makannya. Kayak ga pernah makan seminggu aja lo." Kata gue.
"Ih... ngejek lagi kan. Makasih ya Tama yang baik tapi narsis ga ketulungan. Makasih udah nraktir gue katsu." Katanya tersenyum dibuat-buat.
"Lo mau ngucapin terima kasih apa ngajak berantem sih?"
"Iya. Maaf. Gue makasih banyak lo merelakan ni katsu. Kapan-kapan gue ganti. Makasih sekali lagi." Katanya menatapku.
Oke. Ini aneh. Mendadak jantung gue berdesir melihat matanya. Dia segera memalingkan wajahnya dan melanjutkan makannya yang terhenti. Sedangkan gue? Masih memperhatikannya sampai Nara mengagetkan gue.
"Oi! Ngelamun lagi kan lo? Biasa aja kali ngeliatin Jani. Orangnya udah pergi juga."
"Eh?" Kata gue bodoh. Dan saat gue melihat sekeliling benar saja Jani sudah tidak di samping gue.
"Tanda-tanda nih." Kata Nara sok misterius yang gue tau maksudnya.
"Apa? Engga. Ga usah ngaco deh lo." Kata gue berusaha mengabaikannya.
***
"Tanda-tanda nih."
"Apa? Apanya yang tanda-tanda?" Tanyaku pada Karin yang berjalan disisiku.
"Lo suka kan ama Adit?"
"Ga banget deh suka sama cowok kayak Tama gitu."
"Alah. Salting kan lo pas tatap-tatapan ama dia tadi? Pake buru-buru cabut gitu lagi."
"Yee... enggaklah. Lagian kita kan emang buru-buru mau ke Gramed."
"Alesan."
"Ih... terserah lo deh, Rin." Kataku malas.
***
Sudah setahun aku sekelas dengan Tama dan dia masih semenyebalkan saat pertama kali bertemu bahkan akhir-akhir ini makin parah. Aku tidak akan memberitahukan semenyebalkan apa dia karena, terlalu banyak pertengkaran yang terjadi diantara kami.
Bahkan anak sekelas sudah terbiasa mendengar pertengkaran kami dan menjuluki kami suami istri yang tidak akur. Menyebalkan.
Dilihat dari mana coba aku dan Tama cocok menjadi suami istri. Belum jadi suami saja dia begitu menyebalkan. Bagaimana kalau aku beneran menjadi istrinya? Aduh aku mulai melantur. Sepertinya janji persahabatan kami setengah tahun yang lalu hanya dianggap angin lalu saja olehnya. Buktinya dia malah makin menyebalkan.
***
Sudah setahun gue sekelas sama dia. Oke mungkin ini aneh. Tapi gue suka dengan julukan anak kelas untuk gue dan dia. Suami istri. Hahahaa... ada-ada saja mereka. Gue menyukainya? Mungkin saja.
Karena gue emang ga suka kalo ada cowok lain yang bisa akrab dengannya selain gue. Terobsesi? Apa ini bisa disebut obsesi kalo gue selalu berusaha membuatnya kesal, mengejeknya dan mengusahakan berbagai cara untuk sekelompok dengannya. Tapi ada satu hal yang sebenarnya mendasari iini semua. Dan gue ga akan nagsih tau dia sampai waktunya tepat.
Kalian tahu, ada saat kami tidak saling bertengkar dan terlihat akur. Bahkan kami mengikrarkan janji persahabatan saat itu.

Flashback on...
"Tumben lo ngajakin gue jalan? Ada apa?"
"Gapapa pengen aja. Lagian kayaknya kita ga pernah akur dari pertama ketemu kecuali saat gue mengikhlaskan katsu itu."
"Iya sih. Lo sih nyebelin mulu."
"Lo juga kan yang suka cari gara-gara sama gue."
"Enak aja. Udahlah. Kalo sekarang lo ngajakin berantem lagi gue pulang aja."
"Iya iya. Maaf. Gue ngajakin lo jalan sebenernya..."
"Sebenernya lo naksir gue?"
"Ih... ga banget. Sebenernya gimana kalo kita temenan?"
"Eh? Serius lu?"
"Iya. Tapi kalo lo ga mau gapapa sih."
"Akhirnya.... gitu kek dari dulu. Gue kan jadi bisa konsen belajarnya."
"Jadi?"
"Jadi apa?"
"Jadi kita temenan?"
"Iya... menurut L?"
"Akhirnya..."
"Janji?"
"Janji."
"Mana jari kelingking lo. Dan ikutin perkataan gue."
"Oke."
"Saya Anjani Putri berjanji akan menjadi sahabat yang baik untuk Raditya Pratama selalu menjaga, melindungi, dan selalu berada disisinya saat suka maupun duka."
"Kayak janji pernikahan aja."
"Ikutin aja kenapa sih?"
"Saya Raditya Pratama berjanji akan menjadi sahabat yang baik untuk Anjani Putri selalu menjaga, melindungi, dan selalu berada disisinya saat suka maupun duka."
"Oke. Sekarang cap dibagian jempol. Nah! Jadi mulai sekarang kita sahabatan."
Flashback off...
***
Dia memang bersikap baik diawal persahabatan kami tapi saat seorang kakak kelas cowok mendekatiku dia menghalang-halangiku untuk bertemu dengannya.

Flashback on....
"Lo apaan sih, Tam? Ini penting tau buat gue."
"Seberapa penting sih? Jangan bilang lo naksir dia?"
"Aduh. Lo tuh kenapa sih? Dia itu ketua ekskul KIR. Dan gue berada dibawah bimbingannya buat ikut lomba besok. Lagian apa urusan lo kalo gue naksir dia."
"Gue cuma ga mau lo kenapa-napa. Gue kan sahabat lo."
"Karin aja yang sahabatan lebih lama sama gue ga masalah. Udahlah. Capek gue sama lo. Berlebihan tau ga."
"Oke. Gue minta maaf. Gue yang salah. Tapi tolong jangan deket sama cowok manapun, oke?"
"Ada masalah dengan itu?"
"Pokoknya gue ga mau lo kenapa-napa. Nurut aja oke?"
"Fine. Asal lo ga kayak gini lagi."
"Gue ga janji."
"Terserah."
Flashback off...

"Lo lagi ngelamunin apa sih?" Tanya Karin menyenggolku yang tidak fokus pada salah satu pelajaran yang aku sukai, matematika.
"Gapapa. Gue bingung aja. Si Tama makin lama makin nyebelin tau ga." Jawabku tanpa mengalihkan pandangan dari papan tulis yang penuh coretan yang tidak aku pahami.
"Ngelamunin Tama nih? Cieee kaan.... ada yang naksir." Kata Karin menggodaku tanpa mengalihkan pandangan dari papan tulis.
"Gue ga naksir kali. Lagian gue ama dia sahabatan."
"Eh? Serius lu? Kok bisa?"
"Ya bisa. Gitu deh ceritanya. Dia ngajak gue jalan dan kita ngobrol tanpa perang urat syaraf setengah bulan lalu."
"Serius dia ngajakin temenan? Dia naksir lo pasti."
"Ga mungkin lagi. Sotoy lu. Tapi lo ga usah cerita ke anak-anak ya. Itu semacam perjanjian tak tertulis buat kita." Jawabku. Kami masih terus mengobrol tanpa saling bertatapan. Aneh bukan?
Memang. Karena, kalau sampai pandangan kami teralih dan Bu Lisa menyadarinya kami pasti akan dikeluarkan dari kelas. Bu Lisa memang guru yang baik, tapi beliau sangat tidak menolerir ketidakfokusan siswanya.
Dan beberapa minggu terakhir aku memutuskan untuk tidak duduk di belakang Tama jadi aku dan Karin bisa bebas membicarakannya. Sekilas aku memperhatikan sekeliling, tak sengaja mataku bersirobok dengan matanya.
***
Daritadi gue merhatiin tu cewek. Gue tau dia ga fokus. Hal itu bisa diliat dari pandangannya ke papan tulis tanpa minat. Dan gue yakin dia tidak memperhatikan sama sekali pelajaran yang disukainya. Buktinya mulutnya sibuk berkomat-kamit seperti Karin, teman sebangkunya. Gue yakin mereka sedang membicarakn sesuatu. Buktinya wajah Karin berganti ekspresi beberapa kali. Ada apa dengannya? Bahkan dia duduk menjauh dari gue.
Tiba-tiba seseorang menghalangi pandangan gue. Gue menyingkirkannya agar bisa mengamati Jani lagi. Tapi orang itu bersikeras menutupi pandangan gue lagi dan lagi. Sampai yang kelima kalinya gue berdiri dan siap memarahi orang itu saat sadar bahwa orang itu adalah..... Bu Lisa.
"Jadi apa yang sedang kamu amati, Raditya Pratama?" Tanya beliau.
"Eh... tidak ada, bu."
"Kamu yakin?"
"I...iya, bu."
"Bukan sedang memperhatikan Anjani kan?"
"Bu....bukan, bu."
"Bohong tuh, bu pasti." Kata Seno memanas-manasi.
"Benarkah itu Raditya?"
"Tidak, bu. Benar."
"Baiklah. Kalau begitu tolong bantu Mang Budi membersihkan lapangan dan kebun biologi sekarang."
"Sekarang, bu?"
"Iya sekarang. Cepat." Kata beliau berteriak di depan gue. Segera gue berlari keluar dan mencari Mang Budi untuk melaksanakan hukuman itu.
***
"Nih!" Kataku menyodorkan botol air mineral kearahnya yang duduk kelelahan di pinggir lapangan bola. Dia melihatku sebentar dan mengambil botolnya.
"Thanks."
"Samasama."
"Lo kok disini? Bukannya lagi pelajaran Pak Solah?"
"Terus? Lo kan tau gue ga terlalu suka pelajaran dia. Gapapalah cabut sebentar. Lagian gue ijinnya ke toilet kok."
"Dasar." Katanya mengacak rambutku gemas.
"Ish...berantakan nih..." kataku segera merapikan rambutku. Hening sebentar.
Aku harus menanyakannya segera. Agar aku tidak menyimpan perasaan yang rasanya tidak pantas ini. Batinku mantap.
"Gue mau nanya dong."
"Nanya ya nanya aja. Ga usah pake ijin segala."
"Janji bakal jawab?"
"Tergantung pertanyaan lo."
"Payah. Ga jadi nanya deh." Kataku bergegas bangkit.
"Eh! Iya gue jawab. Mau nanya apa?" Tanyanya menahanku untuk berdiri.
"Kenapa lo ngelarang gue buat deket sama cowok lain?"
"Lo bakal tau alasannya nanti." Jawabnya sambil bangkit dan mulai berbalik.
"Kok gitu sih? Katanya mau di jawab." Kataku ikut bangun dan berusaha menyamai langkahnya yang lebar.
"Eh....pelan jalannya dong. Jawabannya apa?" Tanyaku lagi menarik ujung seragamnya.
"Itu jawaban gue, Anjani." Katanya menghadapku dan menepuk kepalaku.
"Emang gue anak kucing. Pake ditepuk-tepuk kepalanya." Kataku menyingkirkan tangannya.
"Hahahaha.... yaudah mending lo duluan aja. Gue mau beli seragam baru. Ini terlalu kotor." Katanya sebelum kemudian berbelok arah.
"Dasar orang kaya." Kataku sebelum melanjutkan jalan menuju kelas.
***
Gue bersyukur dengan sistem yang diterapkam sekolah gue. Di SMA gue, ga ada yang namanya penjurusan di kelas XI karena, dari awal pendaftaran kita udah masuk jurusan yang diinginkan. Jadi, udah pasti gue bakal 3 tahun sekelas ama Anjani. Betapa gue ga bisa ga nutupin kesenangan gue. Dan ini adalah tahun ketiga kami bersama.
Apa? Gue masih yang paling tampan disekolah ini. Dan julukan itu masih lekat dengan gue. Ya, seorang playboy. Sebenernya gue ga bangga dengan julukan itu. Terserah kata mereka. Tapi satu hal bersejarah yang terjadi di tahun kedua kami bersama saat gue dan dia mengakui persahabatan kami pada semuanya. Mereka tidak memberi tanggapan seperti yang gue perkirakan. Aneh memang. Tapi gue ga peduli, sekarang gue ga harus menyuruh cowok-cowok lain menjaga jarak dengan Jani karena, mereka tahu akan berhadapan dengan siapa. Dan lagi, gue sama Jani ga melulu harus bertengkar hanya karena cowok-cowok ganjen itu.
***
Tiga tahun. Waktu yang singkat. Dan banyak hal yang terjadi memang. Mereka semua tahu kalau aku sahabatnya. Itu membuatku kesal. Bayangkan saja kalau kalian dibanjiri surat-surat cinta, hadiah-hadiah atau sejenisnya tapi itu semua bukan buat kalian.
Parahnya semua cewek-cewek ganjen itu mencoba berakrab-akrab ria denganku. Aku harus bagaimana? Setiap kali aku menceritakannya pada Tama apa tanggapannya? "Biarin aja. Anggep aja angin lalu."
Oh my.... itu masih lebih mending. Setidaknya jika mereka bermasalah dengan Tama sekalipun mereka tidak akan melibatkan diriku. Cewek-cewek yang dipermainkan oleh Tama akhirnya hanya curhat padaku dan aku menyampaikannya langsung pada Tama dengan ceramah hampir sepanjang gerbong kereta.
Aku tidak tahu apa yang dia pikirkan. Tidak masalah aku hanya dijadikan tameng untuk menghadapi cewek-cewek itu. Yang dari lama mengganjal pikiranku adalah alasannya melarangku terlalu dekat dengan cowok selain dia. Ini tahun ketiga dan aku harus segera mendapat jawabannya untuk secepatnya menentukan keputusanku.
***
2 minggu sebelum UN....

"Gimana kalo kita belajar bareng?" Usul Nara yang akhirnya bergabung dengan kami di kantin.
"Gue setuju. Gue setuju." Sahut Karin bersemangat.
"Terserah kalian aja." Jawabku melanjutkan memakan katsuku yang tinggal setengah. Oiya! Untuk info aja. Nara mulai dekat dengan kami--aku dan Karin--semenjak enam bulan yang lalu. Walaupun aku dan Tama berteman sejak dua setengah tahun lalu, kami--aku dan Nara--hanya sebatas kenal. Mungkin karena Nara anak yang banyak mengikuti ekskul dia baru memiliki waktu berkumpul dengan kami akhir-akhir ini dan itu membuat kami dekat.
"Lo gimana, Dit?" Tanya Nara menyenggol Tama yang tengah menikmati katsu-nya. Tama hanya mengedikkan bahu tanda dia tidak mau tahu dan menurut saja.
Oke. Berarti ada kesempatan buat nyari tahu hal itu. Batinku tanpa sadar aku tersenyum.
***
CKREK!
Yes. Another expression of her. Batin gue senang.
"Tamaaa!! Harus berapa kali gue bilang untuk ga ngambil foto gue sembarangan, hah?" Katanya emosi dan berusaha merebut handphone gue.
"Buat kenang-kenangan Jani yang manis." Jawab gue tak lupa menjawil dagunya. Yang dia balas meneriaki gue tepat di depan muka.
"Tamaa!!! Selalu alesan yang sama. Nanti juga kan kita dapet buku tahunan sekolah. Ga usah moto-moto gue sok paparazzi gitu kek."
"Biarin kenapa sih? Suka-suka gue." Kata gue. Dan dia akhirnya hanya pasrah.
"Jadi mulai kapan belajarnya?" Tanya gue mengembalikan topik pembicaraan.
"Hari ini aja gimana?" Tanya Nara.
"Gue bisa." Jawab Karin.
"Gue iya." Kata Jani.
"Oke terus mau dimana?" Lanjut Nara.
"Rumah lo." Kata Nara menunjuk gue.
"Rumah Jani." Kata Karin berbarengan.
"Rumah gue ga bisa. Lagi ada sodara." Kata Jani dan meminum es jeruknya.
"Oke. Pulang sekolah di rumah gue berarti." Kata gue.
***
Ini kali pertama aku ke rumah Tama setelah 3 tahun persahabatan kami. Sebenarnya aku beberapa kali ditawari olehnya untuk mampir, tapi selalu saja ada halangan. Jadi, aku cukup surprise melihat rumahnya yang memang besar. Walaupun tidak seperti istana. Rasanya semakin salah saja perasaanku ini jika terus dipelihara.
"Woah! Gede juga ya rumah lo, Dit." Kata Karin menunjukkan keterpesonaannya.
"Biasa aja kali, mba. Ga usah ampe mangap gitu." Kata Nara berusaha menutup mulut Karin yang memang menganga lebar.
"Apasih?" Kata Karin risi.
"Hahahahha.... kalian. Ini baru tanda-tanda." Kataku menggoda mereka.
"Tanda-tanda apa?" Kata mereka berbarengan. Yang aku balas dengan mengedikkan bahu dan berjalan ke dalam mengikuti Tama.
***
"Kita belajar disini aja ya. Kalian mau minum apa?" Tawar gue berusaha bersikap sebagai tuan rumah yang baik.
"Apa aja yang bisa diminum." Jawab Jani.
"Jus strawberry." Jawab Karin.
"Kayak biasa, bro." Jawab Nara.
"Oke. Bi Sum. Bii.." teriak gue memanggil Bi Sum--pembantu gue.
"Bikinin jus strawberry sama jus jeruk dan sekalian bawain 6 minuman kaleng ya, bi." Kata gue setelah Bi Sum tiba.
"Iya, Den."
"Oiya, jangan lupa camilannya sekalian."
"Iya, Den."
"Makasih, bi." Kata Jani tiba-tiba
"Samasama, non." Jawab Bi Sum kemudian berbalik pergi.
"Lo tu ga boleh gitu tau. Main nyuruh orang seenaknya. Ga pake tolong lagi. Kan kasian dia. Kalo ternyata lu malah nyuruh pembantu lu mendingan tadi gue yang buatin. Dia kan juga capek pasti abis beberes. Belum lagi kalo ternyata kerjaannya belum selesai." Kata Jani mengomel.
"Udahan ngomelnya?" Tanya gue tenang.
"Udah." Kata dia merengut.
"Udah. Udah. Jadi ga belajarnya? Berantemnya nanti lagi." Kata Karin menengahi.
"Iya. Lo bedua ga bosen apa? Kita mau belajar apa dulu nih, Rin?" Tanya Nara.
"Fisika?"
"Oke."
***
Tidak terasa jam sudah menunjukkan pukul setengah enam sore. Dan kami bersiap pulang.
"Mana sih si Adit?" Tanya Karin.
"Coba lu panggilin, Nar." Kataku menyuruh Nara.
"Mager ah. Lagian kenapa gue?" Tanya Nara yang sedang memejamkan mata.
"Yee.. kan lu yang sering maen kesini. Pasti tau kamar Tama dimana. Lagian lu lebih leluasa pasti." Kataku memberi alasan yang logis.
"Mager gue. Lo aja yang panggil. Kamar dia dilantai dua pintu kedua dari tangga." Kata Nara masih memejamkan mata.
"Payah lo. Ayo, Rin." Kataku mengajak Karin.
"Engga deh. Lo sendiri aja ya." Kata Karin.
"Ah... payah kalian berdua. Yaudah." Kataku akhirnya. Mau bagaimana lagi? Kalau menunggu dia turun bisa kemalaman aku pulangnya. Jadi, aku menaiki tangga dan langsung menemukan pintu yang dimaksud. Pintu itu tidak tertutup rapat. Aku mencoba mengintip. Dia benar tertidur ternyata. Ini sih dia mana belajar. Yang ada dia cuma menyediakan tempat buat kami belajar.
Aku harus masuk kekamarnya nih? Aku mencoba mengetuk pintunya berharap dia terbangun. Tapi sepertinya usahaku sia-sia. Akhirnya aku memberanikan diri memasuki kamarnya yang cukup luas dan tidak terlalu berantakan seperti kamar cowok kebanyakan. Saat aku memperhatikan sekeliling mataku terpaku pada beberapa foto di dinding tepat diatas meja belajarnya. Kenapa dia punya fotoku saat SMP?
***
Jani menatap foto di dinding. Dia terlihat kaget dan bingung memandangi foto-foto itu. Sepertinya gue harus menjelaskan semuanya sekarang. Agar tidak ada yang gue tutupi lagi darinya.
"Itu semua foto sahabat gue pas SMP."
"Eh! Lo udah bangun? Baru mau gue bangunin. Sorry ya... gue sembarangan masuk kamar lo." Katanya segera berbalik. Gue tidak menggubris permintaan maafnya dan kembali melanjutkan.
"Dulu gue sama dia kayak lo sama gue sekarang. Tapi ada cowok jahat yang bikin dia pergi dari gue. Dulu gue ama dia juga sahabatan, tapi dia ga mendengarkan perkataan gue dan memutuskan persahabatan kami saat gue mulai menyadari perasaan gue yang lebih. Dia lebih memilih cowok itu. Tapi akhirnya gara-gara cowok itu dia meregang nyawa." Kata gue sedih.
"Lo ga harus cerita detailnya. Gue ngerti sekarang. Makasih udah menjaga gue." Kata Jani menghampiri gue yang tertunduk diatas kasur.
"Ayo. Yang lain mau pulang. Gue juga. Kalo kemaleman bisa di omelin bokap entar." Katanya lagi menarikku bangun.
"Lo gue yang anter ya." Kata gue akhirnya.
"Boleh." Jawabnya. Dan kami berjalan keluar bergandengan tanpa kami sadari.
***
Jadi itu alasannya. Dia hanya tertarik padaku karena masa lalunya. Dia tidak benar-benar melihatku selama tiga tahun ini. Mungkin malah dia hanya terobsesi karena dia tidak bisa melindungi temannya.
Dan selamanya dia akan tetap menganggapku sahabatnya. Tidak akan ada yang berubah dari itu. Tanpa sadar aku menggandeng tangannya. Bolehkan sekali ini saja aku merasakan hal yang lebih darinya. Aku tahu jawabannya. Inilah keputusan yang akan aku ambil.
***
2 hari menjelang UN...
Entah ini perasaan gue doang ato emang Jani menjaga jarak dari gue. Yang jelas gue jadi ga bisa konsen ngerjain apapun. Gue harus bicara sama dia.
***
Semenjak hari itu aku memutuskan untuk menjaga jarak darinya. Berat memang. Tapi aku harus bertahan. Sebentar lagi bel pulang sekolah dan aku hanya butuh sehari lagi untuk bertahan.
Tiba-tiba seseorang menghalangi jalanku. Sepertinya bukan seseorang karena aku tahu siapa orang itu. Padahal aku hanya butuh sehari lagi untuk mempertahankan ini semua dan dia malah mengacaukannya.
"Kenapa?" Tanyaku langsung menatap matanya.
"Kita harus bicara." Katanya membalas tatapanku.
"So speak."
"Not here. Ikut gue." Katanya menarik tanganku.
Oh my... gimana gue bisa bertahan kalo kayak gini? Batinku.
***
"Ada apa dengan lo?"
"Ada apa apa?"
"Kenapa lo berubah?"
"Ga ada yang berubah. Gue cuma mau fokus."
"Dengan ngejauhin gue? Itu malah bikin gue ga fokus."
"Gue ga ngejauhin lo. Dan kenapa hal itu malah bikin lo ga fokus?"
"Pokoknya gue ga mau lo ngejauh. Apapun alasean lo."
"Tapi.."
"Please, gue ga bakal bisa konsen buat UN kalo lo kayak gini."
"Fine."
***
Hari Kelulusan
"Anjaniii... kita bakal pisah dong?" Tanya Karin sedih setelah acara wisuda berakhir.
"Iya. Keep contact ya, Riin." Kataku ikutan terharu.
"Huhuhu....girls.... gue juga bakal kangen kalian." Kata Nara mencoba memeluk kami yang tentu saja dibalas tonjokan oleh Karin.
"Ga usah cari kesempatan dalam kesempitan." Kata Karin sengit.
"Namanya juga usaha, Rin. Hehehehe.."
"Mau gue tonjok lagi?" Tanya Karin mengepalkan tangannya.
"Ee... iya. Ee... maksudnya engga. Engga. Becanda elah. Serius amat sih, bu." Kata Nara cemberut.
"Udah kalian kenapa sih? Ini terakhir kita bareng-bareng juga." Kataku melerai mereka.
Tiba-tiba saja seseorang menutup mataku dari belakang.
"Ayo tebak." Katanya bersuara. Membuatku menyadari siapa orang itu.
"Udahlah, Tam. Gue tau lo siapa." Kataku berusaha melepaskan tangannya yang menutupi mataku.
"Hahaha...iya deh iya." Kata Tama akhirnya melepaskan tangannya dan beralih merangkul pundakku.
"Kita caw yuk." Katanya tiba-tiba.
"Kemana? Kan acara hiburannya belum selesai." Kataku.
"Ayok dah. Bosen juga gue." Kata Nara merangkul pundak Karin yang malah dibalas Karin dengan tonjokkan.
"Jangan pegang-pegang." Kata Karin sambil melotot.
"Iya deh iya."
"Hahahahha.... kalian lucu." Kataku tertawa melihat tingkah mereka.
***
Dia ga sadar kalo gue merhatiin dia. Betapa gue bersyukur sama Tuhan karena gue masih di kasih kesempatan. Dan hari ini gue akan bilang ke dia.
"Ayoklah. Naik mobil gue aja." Kata gue menghentikan pertengkaran konyol antara Karin dan Nara.
***
"Pantaii...." kata Karin setelah kami tiba. Sebenarnya kalau kami bisa ke gunung menggunakan mobil dengan jarak yang tidak jauh mungkin kami akan melakukannya. Jadi, pilihan yang rasional untuk menghabiskan waktu yang ada adalah pantai.
Kami memang sudah berniat untuk menghabiskan waktu berempat selesai acara jadi kami memang sudah membawa baju ganti. Tapi karena, desakan Tama kami tiba lebih cepat dan itu cukup menguntungkan karena, pengunjung tidak terlalu banyak dan kebetulan acara wisuda kami diadakan di hari kerja dengan pemberitahuan 2 bulan lebih cepat sehingga tidak ada orang tua yang tidak hadir saat anaknya di wisuda.
***
Tidak ada yang lebih membahagiakan saat melihatnya tertawa seperti itu. Rasanya gue bisa ngelakuin apa aja supaya dia terus tertawa.
Gue menariknya menjauh dari Karin dan Nara yang saling menyiram satu sama lain. Ada raut bingung diwajahnya. Tapi tidak ada satu kata pun yang keluar dari mulutnya. Gue terus menggandeng tangannya sampai tiba di tempat yang cukup jauh dari Karin dan Nara dan pengunjung lainnya.
"Ada yang harus gue bilang sama lo." Kata gue akhirnya setelah keheningan yang cukup lama.
"......"
"Gue sayang sama lo dan gue pengen gue jadi pacar lo." Lanjut gue.
"Gue juga sayang sama lo....sebagai sahabat." Kata dia akhirnya. Tunggu. Apa tadi Jani bilang sebagai sahabat? Kenapa?
"Kenapa?" Tanya gue.
"Karena gue emang menyayangi lo sebagai sahabat gue." Katanya tanpa melihat ke arah gue.
"Pasti ada alasan lain dibalik itu kan? Lihat gue." Kata gue membuatnya berbalik sehingga kami saling berhadapan.
"Ga ada. Perasaan gue ke elo emang cuma sebatas itu." Katanya lagi menunduk.
***
"Apa yang lo sembunyiin dari gue, Jan?" Tanyanya meraih daguku agar menatapnya tepat dimata.
"Lo cuma terobsesi sama gue. Lo ga melihat gue sebagai gue, Tam." Kataku memberinya pengertian dan berusaha mengalihkan pandanganku.
"Terobsesi? Gimana mungkin lo ngambil kesimpulan itu?" Tanyanya tiba-tiba emosi.
"Lihat gue! Dan coba jelasin alesan gue terobsesi sama lo?" Tanyanya lagi saat aku tidak menjawab pertanyaannya yang sebelumnya.
"Gue mirip temen SMP lo kan?"
"Iya. Terus?"
"Dan kita punya ikatan persahabatan kayak yang lo punya sama dia dulu."
"Terus dimana hubungannya?" Tanyanya mengacak rambutnya dengan frustasi mendengar penjelasanku yang bertele-tele.
"Lo pengen temenan sama gue dan ngelindungin gue. Kemudian lo punya perasaan yang lebih sama gue. Semua itu sama kayak hubungan lo dan temen SMP lo itu. Dan lagi gue sama dia punya muka yang mirip. Apa semua itu ga ada hubungannya?" Tanyaku berusaha tidak menangis.
***
"Kenapa pikiran lo dangkal sih Jan?" Tanya gue menyadari maksud penjelasannya.
"Kalian berdua emang mirip. Tapi kalian 90 persen berbeda. Gue jamin itu." Kata gue lagi.
"Tetap saja. 10 persennya sama. Dan gue ga heran kalo salah satu alasan perasaan yang lo punya ke gue karena kemiripan kami." Kata Jani tegas.
"Gue harus jelasin gimana lagi? Gue suka sama lo Anjani. Sebagai elo. Dan bukan sebagai temen gue yang udah lama meninggal ato sebagai cewek-cewek itu. One hundred percent falling in love with you." Kata gue menggenggam tangannya sambil berlutut.
***
Aku shock. Kaget. Terkejut. Apapun itu sebutannya saat melihatnya berlutut di depanku. Apa aku bisa mempercayai ini semua? Baiklah. Mungkin aku bisa mempercayainya. Tapi bagaimana dengan prinsipku? Lagipula bukannya aku sudah memutuskannya?
"Gue tetep ga bisa, Tam." Kataku melepaskan genggamannya.
"Sekarang apalagi?" Tanyanya kesal.
"Mungkin perasaan lo nyata ke gue. Tapi ini semua bukan tentang perasaan atau perubahan status kita nantinya. Ini tentang prinsip yang gue pegang." Kataku tegas.
"Prinsip apa?"
"Ini prinsip gue. Dan gue rasa lo bakal nemu yang lebih baik. Yang bisa jadi pacar lo."
"Lo yang paling baik. Dan kenapa lo ga bisa jadi pacar gue?"
"Karena, mungkin aja saat ini yang lo rasain ke gue hanya perasaan sesaat dan akhirnya hilang setelah lo mendapatkan gue."
"Gue ga ngerti." Katanya menatapku bingung.
"Kalau yang lo mau adalah pacaran gue ga bisa. Jadi anggep aja gue cuma seseorang yang lewat di hidup lo."
"Tapi kenapa?"
"Karena gue seorang islam."
"Lalu?"
"Gue emang belum jadi muslimah yang taat. Tapi islam melarang umatnya berpacaran. Dan gue berpegang pada prinsip itu." Kataku menjelaskan. Tidak ada lagi tanggapan darinya. Jadi aku berlalu dari hadapannya dan kembali bergabung bersama Karin dan Nara yang tengah menikmati es kelapa.
***
Beberapa tahun kemudian....

Gue ga nyangka dia sedewasa itu. Semenjak kepergian kami yang terakhir ke pantai, dia memutuskan hubungan kami. Dan sialnya setelah tujuh tahun berlalu gue masih ga bisa ngelupain dia.
Kabar terakhir yang gue denger dari Karin tentang dia adalah bahwa dia telah menjadi guru di SMA kami. Betapa gue masih merindukan sosoknya. Dan sekarang gue tau apa yang mesti gue lakuin untuk menjaganya tetap di samping gue selamanya.
Gue melihat undangan itu sekali lagi. Gue yakin dia pasti datang. Dan saat itu dia akan dan harus mau menerima gue.
***
Karin memaksaku untuk hadir di acara reuni SMA kami. Sebenarnya bukannya tidak mau tapi aku takut bertemu dengannya. Entahlah... aku hanya takut dia tidak mengenaliku setelah tujuh tahun berlalu. Dan lagi aku pun sudah mengenakan penutup kepala ini.
***
3 bulan kemudian.....
Dia berdiri disebelahku dengan pesonanya yang tidak pernah lepas. Betapa aku bersyukur pada kuasa-Nya. Saat itu jika aku memutuskan untuk bertahan tidak pergi mungkin kami tidak akan berakhir disini. Diatas pelaminan dan menyalami tamu yang memberi ucapan selamat pada kami.

Flashback on....
Seseorang menepuk pundakku yang sedang duduk di salah satu kursi yang ada. Aku berbalik dan mendapati dia berdiri disana, didepanku.
"Hai." Sapanya.
"Hai. Sudah lama tidak bertemu. Bagaimana kabarmu?" Tanyaku membuka percakapan.
"Ya. Lama tidak bertemu. Aku baik. Bagaimana denganmu?" Tanyanya balik. Entah sejak kapan kami meninggalkan penggunan kata gue-elo menjadi aku-kamu.
"Aku baik." Jawabku. Kemudian hening sesaat.
"Kamu berubah." Katanya tidak lagi melihat kearahku tetapi mengambil tempat tepat disampingku.
"Begitu pula denganmu." Kataku tidak tahu harus membalas apa.
"Manis."
"Apa?" Tanyaku bingung.
"Kamu jadi tambah manis dengan penutup kepalamu itu." Katanya yang membuatku tersipu dan semakin menundukkan kepala.
"Terima kasih." Jawabku. Dan hening kembali menghampiri kami.
"Apa kamu masih pada prinsipmu?" Tanyanya kembali membuka percakapan. Saat aku hendak menjawab dia kembali melanjutkannya.
"Kalau iya. Bolehkah aku datang kerumahmu dengan membawa kedua orang tuaku?" Tanyanya kali ini menghadap kearahku.
"Ya. Aku masih pada prinsipku. Tapi untuk apa membawa kedua orang tuamu menemuiku?" Tanyaku. Walaupun sebenarnya aku tahu kemana arah pembicaraan ini tapi aku ingin memastikannya sekali lagi.
"Tentu saja untuk memintamu secara baik-baik pada kedua orang tuamu."
"Kamu tidak sedang bercanda kan?"
"Bercanda." Katany datar. Dia memang tidak serius rupanya.
"Begitu?" Tanyaku berat hati.
"Tentu saja tidak. Aku serius ingin melamarmu." Katanya gemas.
"Kenapa?" Tanyaku berusaha terlihat biasa walau sebenarnya aku sungguh-sungguh bahagia.
"Karena aku terobsesi, tergila-gila dan terserah apapun sebutannya itu padamu."
"Apa?" Tanyaku mempermainkannya.
"Berhenti mempermainkanku. Aku sungguh-sungguh jatuh cinta padamu. Dan ingin kau menjadi istriku, Jani." Katanya menatapku bersungguh-sungguh.
"Baiklah aku percaya. Besok jam sepuluh." Kataku menutup pembicaraan kami.
"Apa?" Tanyanya sekarang.
"Aku akan menunggumu datang kerumahku dengan kedua orang tuamu jam sepuluh besok. Sampai jumpa." Kataku bangkit dan meninggalkan acara reunian itu dan dia yang sedang tersenyum lebar.
Flashback off...

Dia menoleh padaku.
"Apa yang sedang kau tertawakan?" Tanyanya.
"Tidak ada." Kataku mengulum senyum.
"Bohong." Katanya memalingkan muka menatap tamu undangan yang tengah menikmati hidangan.
"Baiklah, suamiku..." kataku setengah geli mendengar diriku menyebut Tama suami.
"Kau bilang apa?"
"Suami. Memangnya salah? Sudahlah kalau kamu cuma mau menggodaku aku tidak jadi cerita." Kataku memalingkan muka.
"Jangan begitu. Aku akan mendengarkannya. Janji." Katanya mengacungkan dua jari tangan kanannya membentuk V.
"Tapi kamu juga harus mau menceritakan alasanmu kenapa menyukaiku." Kataku tegas.
"Baiklah." Katanya malas.
"Jadi apa yang sedang kamu pikirkan?" Tanyanya lagi.
"Jadii.... aku hanya mengingat caramu melamarku dulu." Kataku santai.
"Hanya itu? Kukira ada hal lucu yang kamu pikirkan." Katanya melengos.
"Hahahaha... eh... kamu harus menceritakan alasanmu menyukaiku." Kataku mengingatkan.
"Aku hanya terobsesi." Jawabnya santai.
"Hanya itu? Mengecewakan sekali." Kataku berpura-pura sedih. Walau aku sebenarnya benar-benar sedih.
"Chu! Tentu saja tidak istriku yang manis. Aku mulai jatuh cinta padamu saat aku juga mulai terobsesi padamu dan semua tentangmu." Jelasnya setelah mencium pipiku kilat. Aku hanya tersipu. Tidak tahu harus membalasnya bagaimana.
"Kok diam?" Tanyanya karena aku tidak lagi menggubrisnya.
"Aku harus bilang apa memangnya?"
"Apa saja. Seperti aku bahagia sekali atau semacamnya." Katanya mengedikkan bahu.
"Kau tidak bertanya." Kataku. Dan kemudian hening.
"Jadi apa kau bahagia?"
"Tidak."
"Tidak? Kau mau merusak hari pernikahan kita hah?" Tanyanya emosi.
"Tenanglah. Aku belum selesai bicara. Aku tidak bahagia. Karena, aku sangat sangat sangat bahagia." Kataku tersenyum tanpa memandangnya.
"Terima kasih." Lanjutku.
Dia tersenyum dan menjawab. "Sama-sama, istriku."
*****
END

Ulala..... lagi-lagi cerita yang aneh bin alay. Komen aja oke? Gue ga tau harus bilang apa. Makasih semuanyaa :-D

Comments

Popular posts from this blog

Backstabber

Not Saying Word

Destiny?