Soulmate

Aku Narina Dwi Erlingga. Nama yang aneh bukan? Memang. Tapi aku suka namaku. Lagipula nama yang kita punya merupakan do'a orangtua juga, kan? Oke. Ini mulai membosankan menceritakan diriku sendiri. Aku siswi SMA kelas 11 Ipa 4 di sebuah sekolah swasta ternama. Dan semua orang memanggilku Rina kecuali....
"Linggiis.... lo kemana aja sih? Gue cariin juga. Ada misi penting nih dari Kaisar Teras Rumah."
"Aduh. Bawel banget sih lo, Tuan Paku" Jawabku. Baiklah perkenalkan temanku yang paling unik--walaupun dia tidak mau disebut begitu--Rengga Eka Pakusadewo. Seorang anak orang kaya jajaran kesepuluh dunia. Oke, ini bohong. Rengga--atau panggilanku untuknya, Tuan Paku--memang anak orang kaya yang supel dan kadang arogan.
Kami bertemu di SMA sejak awal semester pertama dimulai. Mempunyai hobi yang berbeda denganku tapi saling berkaitan membuat kami menjadi dekat. Dia senang menghabiskan uang dengan membeli buku dan aku senang membaca buku gratis. Baiklah, ini tidak bisa disebut hobi dan tidak bersimbiosis mutualisme untuk Rengga. Tidak jarang aku suka merasa bersalah padanya dan menjelaskan berkali-kali hal ini. Tapi seperti yang dia bilang.
"Gue ga suka ngabisin duit gue buat beli yang ga mutu. Setidaknya walopun gue jarang baca buku, gue masih bisa bikin orang lain pinter."
"Lo nyindir gue pasti."
"Ya enggaklah. Kan sesama agen Perkakas harus saling membantu."
"Terserah lo aja."
"Hahahahaha. Gue serius." Katanya mengacak rambutku.
Itu terjadi saat setelah beberapa minggu kami memutuskan menjadi agen Perkakas. Satu angkatan menjuluki kami aneh dan copycat. Karena, menurut mereka kami meniru cerita salah satu penulis favoritku--Dee--yang berjudul 'Perahu Kertas' tapi cerita kami tidak seperti itu dan Rengga membuatku yakin kalau kami tidak akan mungkin berakhir seperti cerita itu.
***
"Jadi?"
"Apa?"
"Tuan Paku, tadi lo kata lo sendiri nyariin gue karena kita dapet misi dari Kaisar Teras Rumah. Jadi, apa misinya?"
"Sebenernya kata ajudan Kaisar, Perdana Menteri Obengalix gue ga boleh ngasih tau lo dulu."
"Yee.... rese ya lo Tuan Paku. Yaudah gih sana. Kita bukan partner lagi."
"Eh! Hati-hati dengan omongan Anda Nona Linggis. Karena, kamu tahu akibatnya."
"Iya deh iya. Yang Mulia Kaisar Teras Rumah, Leluhur dan Para Pendiri Kerajaan Bergupa ampuni ucapan hamba yang hina ini." Kataku mengangkat tangan dan membungkukkan badan tiga kali.
"Termaafkan." Kata Rengga angkuh.
"Terima kasih." Kataku membungkuk lebih dalam untuk yang keempat kalinya.
"Jadi gini....." Rengga bersiap mengatakan misinya. Tapi, apakah dia tidak ingat kami punya telepati? Dan aku sepertinya paham apa yang dia inginkan.
Aku yakin. 100% yakin kalau dia ingin meminta jarak dariku. Bukan. Bukan karena, dia malu. Walaupun kami suka di cap aneh semua orang masih suka bergaul dengan kami karena kami--kalau boleh membanggakan diri--menyenangkan dan tidak suka membuat orang lain tersinggung.
Lagipula segala macam kekaisaran itu hanya suatu hal yang kebetulan sama sama kami sukai. Dan menganggap diri kami agen pun hanya suatu permainan.
Diluar itu semua kami menjalani kehidupan normal seperti remaja kebanyakan. Dan jika kami saling mengetahui apa yang kami pikirkan tanpa harus disuarakan, itu merupakan bonus dari persahabatan ini.
"Linggis. Gue tau lo udah tau. Tapi bisa kan denger penjelasan gue?" Tanyanya saat aku tidak berusaha mendengarkannya dan malah berjalan meninggalkannya.
"Nona Linggiiis... dengarkan Tuan Paku dulu." Aku masih berjalan walau memperlambat langkahku. Rengga yang melihatku tidak berhenti akhirnya berteriak.
"Narina Dwi Erlingga." Panggilnya dengan penuh penekanan. Kalau dia sudah memanggilku begitu, aku hanya bisa menurutinya dan berbalik.
"Baiklah. Jelaskan." Kataku bersedekap.
"Bagaimama aku menjelaskannya jika jarak kita selebar lapangan futsal ini? Kemarilah." Katanya memanggilku.
"Kau yang mau menjelaskan. Kau saja yang kemari, Tuan Paku." Kataku bergeming.
"Baiklah. Kau harus berjanji satu hal padaku." Katanya sebelum menghampiriku.
"Apa?"
"Berjanji saja dulu."
"Baiklah. Aku berjanji dengan janji Perkakas pada Tuan Paku apapun janjinya nanti." Kataku mengangkat tangan kananku.
***
"Lo lagi berantem ama Rengga ya?" Tanya Nirin, teman sebangkuku dari seminggu yang lalu. Ya, sejak minggu lalu aku tidak lagi duduk bersebelahan dengan Rengga karena, dia yang memintanya.
"Lingga, lo tau kan apa yang gue pikirin?" Tanyanya memastikan.
"Iya gue tau." Jawabku malas.
"Lo pasti sama bosennya kan?"
"Iya sih. Tapi kan kita selalu punya cara buat menghilangkannya, Ga."
"Gue tau. Tapi apa lo ga mau nyoba?"
"Buat apa? Terus kalo seandainya gue dan lo jadi terbiasa gimana?"
"Bukannya itu bagus? Cowok-cowok yang ngegebet ato lagi lo gebet bisa punya kesempatan?"
"Iya juga sih...tapi"
"Yaudah...deal ya?"
"Fine. Deal."
"Gitu dong."
"Lo tanggung resikonya ya."
"Iya."
"Pasti ada cewek yang lu taksir nih. Ye kan?"
"Hehehehe... tau aja lo."
"Siapa?"
"Rahasia. Tar lo juga tau."
"Tuan Paku pelit."
"Linggis kepo."
"Woi!"
"Hah?" Tanyaku gelagapan.
"Gue nanya, Rin." Kata Nirin.
"Eh? Iya. Iya."
"Apanya iya? Lo berantem ama Rengga?"
"Loh? Engga kok."
"Terus kenapa? Tumben lo dari minggu kemaren."
"Rhs. Alias rahasia."
"Yaudah. Urusan lo berdua ini." Balas Nirin tidak peduli.
***
"Bosaaan....." kataku pada pemandangan dari jendela kamarku. Sudah hampir sebulan kami menjaga jarak. Dan aku baru menyadari seberapapun bosannya kami dulu, kami masih saling melengkapi. Tidak seperti sekarang. Semua hal yang ingin kulakukan seperti membutuhkan bantuannya.
Sekarang aku tahu bahwa dia tengah mengincar Risa. Teman sekelas sekaligus sekertaris kelas kami. Risa adalah idaman satu sekolah. Dia cantik dan feminin. Selera Rengga memang tidak salah. Kalau akhirnya dia memutuskan mengabaikanku, aku sungguh tidak tahu apa yang harus kulakukan.
"Aha! Tanya Nirin saja. Siapa tau akhir minggu ini ada yang bisa gue lakuin selain ngelamun." Kataku pada diri sendiri dan segera menelepon Nirin.
***
"Lo seriusan, Rin?"
"Yaiyalah. Lo minta pendapat gue. Ini pendapat gue."
"Masa nyalon sih?"
"Lo ga pernah nyalon apa?"
"Pernah lah. Tapi paling banter di creambath sama potong aja. Ga pake meni pedi meni pedi gitu. Lagian pasti mahal. Bisa bisa gue ga jajan sebulan."
"Gue yang bayar deh. Mumpung gue lagi baek nih. Lagian ini salon tante gue. Kita pasti dapet potongan harga."
"Serius? Bilang kek dari tadi. Yaudah ayok."
"Dasar gratisan."
"Hehehehehehe... makasih Nirin. Muach."
"Ish. Najis." Katanya sambil mengelap pipinya.
***
Masih dua bulan lagi perjanjian antara aku dan Rengga selesai. Selama waktu itu aku menjadi dekat dengan Nirin. Nirin orang yang menarik. Dia seperti Rengga versi cewek menurutku. Iseng, seenaknya dan ga peduli omongan orang. Dia sama protektif sama Rengga jika menyangkut diriku. Pernah dia melarangku dekat dengan cowok yang sama sama yang Rengga larang.
"Pokoknya gue ngelarang elo deket-deket Adit."
"Kenapa sih? Adit baik keles. Lagian lo kayak Rengga aja deh."
"Iya. Baik awalnya. Setelah dia dapet apa yang dia incer, dia bakal berubah seratus delapan puluh derajat."
"Iya apa? Tau darimana lo?"
"Iya. Gue ngalamin sendiri."
"Eh?! Serius lo?! Gimana ceritanya?"
"Gue ga mau bahas itu sekarang. Pokoknya lo jangan mau dideketin dia."
"Iya deh. Tapi kapan-kapan lo harus cerita ya."
"Ga janji."
"Dasar alay."
"Bodo."
"Rina! Ebuset. Gue udah dadah dadah di depan lo juga ya." Kata Nirin menyadarkanku.
"Kenapa?"
"Itu makanan lo ga diabisin? Bentar lagi bel masuk."
"Oh. Kirain ada apa. Lu mau ga? Udah ga napsu gue."
"Daritadi kek. Sini." Dia menarik piringku dan memakannya dengan lahap. Mengingatkanku pada Rengga.
"Kenapa lama banget sih?"
"Apanya? Ini... ue... agi...uru-uru..."
"Dasar rakus. Pelan makannya. Bukan elo juga lagian." Kataku menggeplak kepalanya.
"Uhuk. Uhuk." Aku segera mengangsurkan es teh yang tinggal setengah padanya.
"Bego! Mau bikin gue mati lu ya?" Katanya kesal.
"Hehehehe... sorry. Udahkan makannya? Ayok." Kataku bangkit. Nirin mengikutiku keluar kantin. Untung tadi aku membayar pesananku lebih dulu.
"Lo pasti mikirin Rengga kan?"
"Apa? Engga."
"Yang bener? Eh! Tuh." Katanya menyikutku saat melihat Rengga berjalan kearah kami.
"Apa sih?"
Aku dan Rengga hanya saling melempar senyum saat kami akhirnya berpapasan. Tanpa sadar...
"Ga."
"Na."
Kami sama-sama berbalik dan memanggil. Sesungguhnya aku tidak tahu apa yang ingin aku katakan. Ada terlalu banyak yang ingin aku utarakan. Kami bergeming sampai dia membuka suara.
"Kenapa Na?"
"Err... engga. Engga jadi. Gue lupa mau bilang apa."
"Oh... kalo gitu gue duluan." Katanya melanjutkan langkah saat aku teringat sesuatu.
"Ga."
"Ya?" Dia berbalik.
"Lo tadi manggil gue kenapa?"
"Errr.... itu....gue lupa. Hehehe." Katanya mengusap tengkuknya.
"Hoo... yaudah gue duluan ya. Dah." Kataku sempat melambaikan tangan.
"Dah. Sampai ketemu di kelas."
***
"Buset! Gue baru liat langsung pasangan yang saling canggung kalo ketemu." Katanya ditengah perjalanan kami ke kelas.
"Pasangan? Pacaran aja belum. Ada ada aja pikiran lo. Udah ah. Apaan sih? Dari tadi gue mulu ama Rengga."
"Kalian tuh saling butuh. Tapi ga ada yang berani break the walls. Rumit. So complicated."
"Sok inggris lu alay."
"Bodo. Dasar muna."
***
"Lo pasti patah hati denger kabar ini."
"Lebay lu. Kabar apaan sih?"
"Mereka jadian."
"Siapa jadian?"
"Siapa lagi? Rengga sama Risa lah."
"......."
"Tuh kan! Patah hati."
"Eh? Engga kok. Berarti perjanjian gue sama dia berakhir. Yeyeyeye. Lalalala." Kataku menari tidak jelas di kelas dan menabrak seseorang. Bruk!
"Eh... sorry. Sorry." Kataku tanpa memperhatikan orang yang aku tabrak.
"Iya gapapa kok, Nona Linggis."
"Rengga? Eh salah. Tuan Paku." Kataku tersenyum seperti baru mendapat lotre.
"Selamat yaa... lo jadian sama Risa kan? Berarti perjanjian kita selesai dong?"
"Eh...itu lo tau dari siapa? Iya. Makasih."
"Dari Nirin. Aaa... gue seneng."
"Tapi, Rin. Gue ada yang harus gue omongin sama lu."
"Ngomong aja."
"Ga sekarang. Nanti gue sms lo, oke?" Kata Rengga berbisik padaku.
"Aneh. Yaudah terserah lo aja." Kataku mengedikkan bahu.
***
"Ada masalah apa sih Risa sama gue?"
"......."
"Kenapa Rengga pake suka sama cewek kayak gitu sih?"
"......"
"Gue punya salah apa sih sama mereka?"
"......."
"Gue pikir Risa bisa nerima gue sebagai sahabat Rengga."
"......"
"Niriiiin! Tanggepin kek. Kenapa lo malah asik ngacak-ngacak rak buku gue sih?"
"Apasih? Apa yang mesti gue tanggepin coba? Mana gue tau Risa punya masalah sama lo ato engga. Mana gue tau kenapa Rengga suka sama Risa. Dan gue ga peduli."
"Huft. Iya juga sih."
"Tapi gue penasaran deh gimana Rengga bilangnya."
"Jadi gini...."
"Kita tetep sahabatan kok, Rin. Perjanjian kita emang selesai tapi kita backstreet aja."
"Apa sih? Pake segala backstreet?"
"Gue udah jadian sama Risa sebenernya seminggu yang lalu. Tapi dia minta syarat dari gue supaya tetep jaga jarak dari lo."
"Dia ga suka sama gue?"
"Bukan. Bukan dia ga suka. Tapi dia cuma ga mau ada cewek lain yang lebih deket dari dia."
"Iya berarti dia ga suka kan kalo gue sahabatan sama lo?"
"Bukan gitu."
"Kenapa ga lo putusin dia?"
"Hah?"
"Yaudahlah. Kalo itu emang mau lo."
".....Gitu Rin."
"Hahahaha....balyaw. tenang aja. Dari awal udah keliatan kok."
"Keliatan apa?"
"Mereka ga bakal bertahan lama."
"Kok lo do'anya jahat sih?"
"Yee... gue dukung lo juga."
"Tapi kan ga gitu juga, Rin."
"Au ah....liat aja nanti. Gue numpang tidur ya. Jam 3 nanti bangunin gue, mau jemput adek soalnya."
"Hh... payah. Mau curhat juga."
"Curhat apa lagi?"
"Yang tadi."
"Kan udah."
"Iya sih..."
"Dasar alay." Katanya melemparku dengan bantal. Yang tepat mengenai mukaku.
"Rese ah."
Oiya, untuk info aja. Kami sedang liburan karena anak kelas 3 sedang mengadakan ujian sehingga Nirin bisa berada dirumahku. Dan sebentar lagi kami juga akan menjadi murid kelas 3 SMA.
Tak terasa sudah setengah tahun aku tanpa Rengga. Setidaknya sekarang ada Nirin yang menggantikan walaupun tetap tidak sama. Perasaanku aneh. Rasanya tidak rela Rengga jadian dengan Risa. Mungkin kalau Risa bisa menerima persahabatan kami aku tidak masalah tapi ini? Hah.... sudahlah.
***
Hari pertama menjadi murid kelas 3 SMA. Hubunganku dan Rengga memang tidak renggang hanya kami sudah jarang menghabiskan waktu bersama. Lagipula setelah aku pikir-pikir, rasanya benar kalau Risa tidak ingin ada cewek lain yang terlihat dekat dengan cowoknya.
"Ngapain lo ngelamun?"
"Gapapa."
"Tenang aja. Gue masih jadi temen sebangku lo kok. Lo ga bakal sendirian." Kata Nirin menepuk bahuku.
"Apa sih? Males keles gue 2 tahun ama lo."
"Yee...tengil. lo juga masih sekelas sama dia kok."
"Apa pula coba? Gue ga mau bahas dia ah."
"Lo ga berantem kan?"
"Engga elah."
"Terus kenapa?"
"Kemaren dia dateng ke rumah gue."
"Serius?!"
"Iya."
"Terus terus?"
"Apanya terus terus?"
"Terus dia ngapain di rumah lo?"
"Numpang makan."
"Becanda lo!" Kata Nirin meninju bahuku pelan.
"Hh....susah ceritanya."
"I have time."
"Gue bingung. Kita cabut aja yuk, Rin."
"Serius?!"
"Lo bisa ga sih ga teriak deket kuping gue?"
"Hehehehehe... sorry. Tapi lo mau cabut nih?" Aku hanya mengangguk sebagai jawaban.
"Ayok! Hahahaha...akhirnya."
Kami sama-sama berbalik saat sudah berdiri di depan pintu kelas. Baru beberapa langkah seseorang menahan lenganku.
"Kalian mau kemana?"
"Eh....Rengga? Kita... kita.... mau ke.." jawabku gagap.
"Kita mau ke perpus. Mau pinjem buku."
"Kan perpus kearah sana." Katanya menunjuk arah sebaliknya.
"Iya kita mau jajan dulu." Kata Nirin santai.
"Emang harus bawa tas?"
"Masbuloh? Buku yang mau kita pinjem tuh banyak. Makanya kita bawa tas."
"Yaudah gue temenin."
"Gausah ya, Tuan Paku. Kita bisa sendiri. Jangan campurin urusan orang oke?" Kataku akhirnya buka suara.
"Tapi...."
"Engga. Sekarang lepasin tangan gue." Kataku tegas.
"Tapi Lingga...."
Sebelum dia menyelesaikan kalimatnya aku berbalik dan berjalan pergi. Untuk sekali ini aku tidak akan berbalik untuknya. Tidak akan.
***
"Balik aja yuk."
"Lo gimana sih, Lingga?"
"Gimana apa?"
"Lo ngajakin cabut. Baru dua jam keliling juga masa udah minta balik?"
"Hh...gue mau dirumah aja."
"Yaudah. Tanya nyokap lo sana, beliau dirumah ga? Kita ke foodcourt dulu yuk."
"Hahahaha... sok baku lu. Oke."
***
"Jadi apa yang dia lakuin dengan dateng kesini kemaren?"
"Dia curhat"
"Curhat? Tentang?"
"Tentang dia sama Risa."
"Isi curhatnya?"
"Ish. Kepo banget sih lo?"
"Lo katanya mau curhat."
"Iya tapikan lo nanya gitu gue jadi kayak di introgasi."
"Yaudah. Kapanpun lo mau cerita bilang gue. Gue mau geledah kulkas lo dulu."
"Sana gih." Kataku cemberut.
***
"Udah sore. Tapi gue ga tau mau ngapain. Nirin juga udah pulang. Haaah...." kataku berbaring telentang.
"Dia curhat kalo dia lagi ada masalah sama Risa."
"Terus?"
"Mukanya sedih banget gitu, Rin. Tapi ada yang aneh."
"Aneh apanya?"
"Gue juga sedih dengernya."
"You're in love with me."
"Ga mungkin lah. Gue pasti sedih gara-gara dia sahabat gue."
"I told you. Lo cuma ga mau percaya itu."
"Tapi, Rin..."
"Ask yourself. Kalo gue yang bilang mungkin lo ga mau percaya."
"Gue bingung."
"......"
"Ish! Sakit Nirin!!"
"Wkwkwk. Udah jangan sedih lagi. Nih." Katanya menyodorkan segelas jus jeruk padaku.
"Huft." KLONTANG!
"Eh? Suara apa tuh?" KLONTANG!
"Apa sih? Dari luar keknya nih suaranya."
"Siapa sih? Berisik tau ga?" Kataku mengomel sebelum melihat siapa yang melempari kaca jendela kamarku.
"Eh? Rengga?"
"Heh! Nona Linggis. Hape lo disita sama Perdana Menteri ya?"
"Emang kenapa?"
"Gue miscal dari tadi juga."
"Iya apa? Lu mau ngapain?"
"Iya. Daritadi. Bukain napa pintunya."
"Eh? Oiyaya. Tunggu sebentar."
***
"Nih!" Kataku menyodorkan sekaleng cola pada Rengga. Dan duduk disebelahnya.
"Lo tau alasen gue kesini?" Tanyanya setelah mengambil kaleng ditanganku.
"Engga." Kataku pura-pura polos.
"Jangan boong Nona." Katanya lesu.
"Then? Kenapa kalo gue udah tau?" Tanyaku menyalakan TV.
"Gue juga ga tau." Katanya menunduk.
"Kalo gitu gue juga ga tau mau bilang apa." Kataku bersandar di sofa dan menatap TV yang sedang menayangkan drama yang tidak aku tahu. Beberapa lama tidak ada yang bicara diantara kami dan aku mulai fokus pada cerita drama yang sedang ditayangkan.
"Emang seru ya?" Tanyanya tiba-tiba.
"Apa?"
"Cerita drama itu."
"Oh...sedih lebih tepatnya."
"Kenapa?"
"Mereka sahabatan tapi mereka sama-sama ga nyadar kalo mereka saling suka, sampai salah satu punya pacar." Kataku tanpa menatap Rengga.
"Terus?"
"Kredit."
"Kredit?"
"Tuh...bersambung." kataku menunjuk ke arah TV dan mengambil remote untuk mematikannya.
"Jadi gimana?" Tanyaku setelah hening sesaat menyelimuti kami.
"Gimana?"
"Iya gimana ceritanya?"
"Cerita apa?"
"Hadeh! Tuan Paku lemot! Lo sama Risa gimana ceritanya?"
"Gue berantem lagi."
"Itu gue tau." Kataku memutar bola mata.
"Sekarang kenapa berantemnya?"
"Dia ngungkit masalah kita lagi."
"Oh my.... tidak bisakah dia dewasa?"
"Itu yang gue tekankan sama dia berkali-kali. Tapi dia ga bisa percaya. Dan hari ini padahal hari anniv kita."
"......"
"Kok diem?"
"Gue ga tau harus bilang apa."
"Gapapa. Yang penting lo mau denger."
"...... gue tau!"
"Gue bakal nemuin dia. Gimana?"
"Mau ngapain?"
"Ngasih penjelasanlah. Ngapain lagi?"
"Jangaan!"
"Kenapa?"
"Pokoknya jangan! Lo gila apa?"
"Ish! Mau dibantuin juga." Kataku bersedekap dan memasang tampang kesal.
"Hahahaha.....iya gue ngerti. Tapi ga usah ya, Nona Linggis." Katanta mengacak rambutku.
"Renggaaa! Berantakan." Kataku menepis tangannya.
"Hahahahaha....yaudah. gue balik ya."
"Tunggu!"
"Kenapa?"
"Gue bikin pizza. Titip bawain buat nyokap sama adek lo ya. Tunggu sini. Gue ambil dulu." Kataku bergegas ke dapur.
"Nih!"
"Cepet amat."
"Udah gue bungkus daritadi soalnya."
"Buat mereka aja nih? Buat gue?"
"Itukan sekalian."
"Ga kenyang lah."
"Beli sana kalo kurang."
"Dasar Nona Linggis pelit."
"Tuan Paku rakus. Wek."
"Hahaha...gue balik ya."
"Ya. Hati-hati."
"Oke." Katanya berjalan kearah pintu.
"Jangan lupa ditutup ya pintunya."
"Ga dianter nih?"
"Biasanya juga gitu. Lebay."
"Yah..gue balik ya."
"Iye. Kan tadi udah pamitan."
Saat pintu hampir tertutup Rengga membukanya kembali.
"Apalagi?" Tanyaku bersedekap.
"Makasih."
"Nope. That's what friends are for, right?" Kataku tersenyum.
"Dah...assalamu'alaikum." Katanya menutup pintu.
"Wa'alaikumsalam."
***
"Kaka berantem lagi ama Ka Risa?" Tanya Tantri, adikku.
"Nih! Dari Ka Lingga." Kataku memberi bungkusan yang aku bawa.
"Kok? Bukannya kaka bilang mau keluar sama Ka Risa?" Tanyanya menerima bungkusan yang aku sodorkan.
"Anak kecil ga usah banyak tanya."
"Yeay! Maa, Ka Lingga ngasih kita pizza." Teriak Tantri dan berlari ke arah dapur.
"Dasar! Udah ketemu makanan aja." Kataku saat dia tidak mempedulikan perkataanku yang terakhir. Tapi seperti ada yang tertinggal dia berbalik dan menatapku. Kemudian secara tiba-tiba dia berkata
"Kaka ga bisa merengkuh keduanya. Kaka harus pilih salah satu. Aku sih prefer Ka Lingga walaupun Ka Risa tidak buruk juga kecuali dia sedikit egois dan manja. Ga tau mama."
"Mama setuju sama yang dibilang Tri. Kamu ga bisa merengkuh mereka bersamaan. Atau keduanya bakal terluka." Kata mama tiba-tiba muncul.
"Ada apa ini? Kenapa tiba-tiba ngomongin itu? Kalian kenapa sih?" Tanyaku bingung saat mereka memberi nasehat yang membuatku tersadar.
"Kaka payah. Ma, kita makan pizza aja yuk. Kak Rengga lemot." Kata Tantri menarik mama kembali ke dapur.
Aku tahu maksud mereka. Tapi aku sendiri bingung dengan perasaanku. Aku menyukai Risa tapi aku juga berat kalau harus kehilangan Lingga disisiku. Apa yang harus aku lakukan? Aku tidak tahu. Untuk saat ini aku tidak akan memikirkannya. Biarkan saja seperti ini dulu. Berjalan apa adanya. Toh masalahku dengan Risa masih bisa aku atasi.
***
"Udah ah belajarnya. Mumet gue." Kata Nirin melempar buku fisika ke sembarang tempat.
"Nirin! Tinggal sebulan which is empat minggu lagi kita bakal UN. Lo ga boleh nyerah oke? Tinggal satu nomor lagi kok." Kataku menyemangatinya.
"Satu nomor aja terus. Ini tuh baru nomor 20, Lingga!" Katanya menunjuk-nunjuk soal dengan kesal.
"Yaudah. Setelah ini selesai. Gue janji. Suer" Kataku mengangkat tangan membentuk huruf V.
"Janji?"
"Iya."
***
H-1 minggu menjelang UN....
"Finally." Kata Nirin lega.
"Kan! Apa gue bilang?"
"Makasih ya Lingga. You save my life. Muach." Katanya memelukku.
"Iya. Asal jangan lupa aja nanti pas ujian."
"Jangan gitu dong. Memupuskan harapan aja sih lo." Katanya cemberut.
"Hahahaha...udah. engga kok. Dilatih aja lagi. Pasti ga bakal lupa." Kataku mengingatkan.
"Iya pasti. Oiya, gimana tesnya?"
"Tes apa?"
"Itu loh. Yang kedinasan itu."
"Oh. Belum. Tesnya tiga minggu setelah UN."
"Kirain. Terus Rengga?"
"Rengga kenapa?"
"Udah lo kasih tau?"
"Belum."
"Kapan lo mau ngasih tau dia?"
"Nanti aja pas acara wisuda. Kan belum tentu juga gue lulus tes."
"Semangat ya, Lingga! Gue tau lo pasti bisa."
"Iyalah. Gue gitu. Hahaha... makasih ya, Nirin."
"Dasar! Sama-sama. Kan nanti kita belum tentu ketemu lagi." Katanya tiba-tiba mellow.
"Apasih? Belum juga wisuda." Kataku meninju bahunya pelan.
"Iyaya? Ah...udahlah. kalo gitu gue balik ya." Katanya bangkit dan menyampirkan tasnya.
"Tunggu sebentar. Maccaroni-nya lo bawa pulang ya."
"Ga buat nyokap bokap kaka adek lo?"
"Gue masih sempet bikin lagi kok."
"Yaudah buruan."
"Heh! Wkwkwkwk. Iya tunggu ya." Kataku bergegas ke dapur.
Saat aku kembali ke ruang tengah ada dua orang yang tengah berbincang. Aku kenal keduanya. Yang rambutnya dikuncir jelas Nirin dan yang satu lagi siapa lagi kalau bukan Rengga. Pasti dengan masalah yang sama. Huft.
"Lama ya, Rin? Sorry ya. Nih." Kataku memberikan bungkusan berisi makanan.
"Gapapa. Gue balik ya."
"Iya. Hati-hati. Jangan lupa tutup pintu."
"Iya nyonya." Katanya berjalan keluar melewatiku.
"Baek-baek lo ama dia. Jangan maen terkam aja." Katanya berbisik saat persis disebelahku.
"Apasih? Ngaco!" Kataku menoyor kepalanya.
***
"Ga?"
"......."
"Nyaut napa."
"Iya kenapa?"
"Lo tau alesan gue kesini kan?"
"Hmm."
"Gue putus sama Risa."
"Udah tau."
"......"
"WHAT?!"
"Gue putus sama Risa."
"Kok bisa?"
"Mau fokus."
"Boong kalo alesan lo itu. Kalo lo mau fokus udah dari sebulan lalu putusnya."
"You know me so well."
"That's friend do, right?"
"Kenapa lo selalu ngungkit itu?"
"Ngungkit apa?"
"Hubungan persahabatan kita."
"Emang iya kan? Kita sahabatan."
"Iya. Tapi gue mau mengakhiri hubungan ini."
"Kenapa?"
"Karena, gue ga mau lagi jadi sahabat lo."
"Yaudah." Kataku berusaha santai.
"Lo ga mau tau alesannya?" Tanyanya.
"Engga." Jawabku berusaha tegas.
"Yakin?" Tanyanya sangsi.
"Yakin. Apapun itu." Kataku tanpa menatapnya.
"Lihat gue dan katakan sekali lagi." Katanya meraih daguku dan memaksaku menatap matanya.
"Hh...fine. gue ga mau tau alasan lo memutuskan persahabatan kita apapun itu." Kataku menatap matanya.
Hening melingkupi kami. Kami hanya saling menatap sampai dia menundukkan kepalanya.
"Hhh.... kalo gitu gue balik." Katanya bangkit. Aku ikut bangkit dan mengikutinya ke arah pintu.
"Kenapa lo anter gue?" Tanyanya berbalik setelah selangkah keluar dari pintu.
"Mungkin ini pertama dan terakhir gue nganter kepergian lo. Setelahnya gue mungkin ga dapet kesempatan ini setelah lo mau mengakhiri persahabatan kita." Kataku menatap matanya.
"Gue pamit ya, Lingga. Assalamu'alaikum."
"Hati-hati. Wa'alaikumsalam."
***
"Lo ga nyesel apa?"
"Apa yang harus disesali, Rin?" Tanyaku.
Delapan tahun sudah berlalu. Sekarang aku sudah menjadi pegawai swasta seperti Nirin yang bekerja di balik meja. Aku dipertemukan lagi dengan Nirin di kantor yang sama dengan jabatan yang berbeda tiga tahun yang lalu. Dia sebagai sekertaris dan aku sebagai...sebagai....bagaimana menyebutnya ya. Perusahaan yang mempekerjakanku adalah lembaga survey dan aku ditempatkan sesuai pendidikan yang aku jalani, ilmu statistik. Pokoknya begitulah.
Dan mengenai pertanyaan Nirin sudah sejak 2 bulan yang lalu dia mengungkitnya. Aku juga tidak tahu kenapa dia kembali membahasnya.
"Ayolah, Rin. Tidak adakah topik lain selain dia?" Tanyaku malas.
"Gue bingung deh ama lo. Kenapa lo ga ngasih kesempatan dia buat ngejelasin?"
"Gue ga mau denger berita buruk."
"Darimana lo tau kalo itu berita buruk?"
"Pokoknya engga. Bukannya lebih baik gini? Gue fine dengan kehidupan gue sekarang."
"Tapi lo ngga bisa lupain dia."
"Bisa."
"Jangan muna."
Aku hanya memutar bola mata. Nirin memang keras kepala seperti Rengga. Eh? Apa aku menyebutnya tadi? Baiklah. Aku akui pada kalian aku belum melupakannya sepenuhnya. Kalian puas?
"Jadi ga mau ke gramed?" Tanyanya memutuskan lamunanku.
"Jadi. Jadi. Ayo sekarang." Kataku antusias.
"Kutu buku."
"You know me so well, Rin." Kataku menggamit lengannya dan berjalan keluar restoran.
***
"Itu dia bukunya." Kataku bergegas menuju rak yang memajang buku yang aku cari.
"Oh tidak! Tinggal satu." Kataku mempercepat langkahku.
Greb!
"Ini saya duluan yang liat, mas." Kataku saat ada satu tangan yang ikut memegang buku yang sama. Tanpa melihat orang itu aku tahu dia laki-laki dari tangannya.
"Tapi saya duluan yang pegang." Katanya tak mau kalah.
"Kasih saya aja deh, mas." Kataku menggenggam buku itu lebih erat.
"Saya mau mengadokan ini untuk seseorang. Mba kan bisa mencari lagi ditempat lain."
"Kenapa ga mas aja?"
"Ini penting mba. Saya sekalian mau minta maaf sama orang itu."
"Cari kado lain aja kenapa mas? Kalo minta maaf ya jangan pake buku lah." Kataku bersikukuh.
"Dia suka baca buku mba. Makanya saya mau ngadoin dia." Katanya sama tidak mau kalahnya.
"Lingga! Gue cariin juga. Lo disini rupanya." Kata Nirin menghampiri kami.
"Rengga? Kebetulan banget kita ketemu disini." Kata Nirin lagi. Rengga? Masa iya aku mendengar Nirin menyebut nama Rengga?
"Nirin?" Kata cowok itu balik. Nah lo! Aku segera mengangkat wajahku untuk melihat siapa laki-laki yang berebut buku denganku.
Oh my... he is real. Aku hanya menatapnya sampai Nirin mencubit pinggangku.
"Udah kali non terpesonanya." Katanya melirikku.
"Hahaha...."
"Sakit tau Nirin." Kataku berbisik.
"Lo mau bayar kan? Udah dapet bukunya?" Tanyaku mengabaikan Rengga dan menggamit Nirin menjauh.
"Lingga! Lo ga jadi ambil bukunya?" Teriak Rengga terlalu keras. Dan membuat semua pengunjung mengiringi langkahku. Kepalang tanggung. Aku membalasnya dengan berteriak.
"Buat lo aja. Buat orang yang spesial buat lo."
***
Kenapa aku terdampar disini? Dasar Nirin! Setelah keluar dari Gramedia tadi ternyata Rengga mengikuti kami dan menawari kami makan siang bersama. Padahal kan tadi kita sudah makan siang. Memang akal-akalannya Nirin membuatku berlama-lama dengan Rengga.
"Balik yuk, Rin. Ga enak sama bos." Kataku berbisik padanya.
"Lu kayak ga tau bos kita aja. Gue udah sms dia kok."
"Tapi kita udah lama disini."
"Ada apa?" Tanya Rengga.
"Gapapa."
"Kalian terburu-buru ya?"
"Tidak." Jawab Nirin.
"Iya." Jawabku bersamaan.
"Loh?" Rengga menatap kami bingung.
"Iya kami buru-buru." Kataku.
"Kalau begitu aku antar ya."
"Ga usah." Jawabku.
"Boleh." Kata Nirin berbarengan.
"Ga us...aw." kataku saat Nirin mencubitku.
"Boleh. Kantor kita ga jauh dari sini kok. Ayo." Kata Nirin mendahuluiku.
***
"Kenapa kita jadi bareng dia sih?" Bisikku saat kami berjalan dibelakang Rengga.
"Gapapa sekali kali. Hemat ongkos juga lagian." Katanya berbisik. Kami sudah tiba disamping mobil Rengga. Sepertinya dia sudah menjadi seorang eksekutif muda. Mobilnya saja mewah begini. Nirin mendahuluiku masuk ke pintu penumpang. Huft. Rencana apa lagi ini? Terpaksa aku harus duduk disamping Rengga.
***
"Makasih ya, Ga." Kata Nirin.
"Boleh aku minta nomor kalian." Tanyanya dari dalam mobil. Aku bergeming. Nirin berinisiatif mengeluarkan kartu namanya.
"Ini nomor gue, Ga. Sampai ketemu lagi." Kata Nirin.
"Sip. Gue pamit ya." Katanya.
"Ya. Hati-hati." Kata Nirin.
***
"Arrgh! Nirin Nyebelin! Rengga juga!" Kataku bangun dari tidur.
"Gosh! Kenapa?" Tanyaku menatap langit-langit kamar. Jika sudah begini yang aku lakukan adalah menuju balkon dan duduk disana sampai tertidur dan terbangun kesiangan. Biarlah. Sudah lama aku tidak melakukannya.
Dia kembali. Memangnya dia pergi kemana? Dasar gadis bodoh. Batinku memukul kepalaku sendiri.
"Sedang apa?" Tanya Rengga.
"Sedang bingung."
"Kenapa?"
"Bingung kenapa gue bisa ketemu dia lagi."
"Ketemu siapa?"
"Rengga."
"Oh."
"Eh? Hwaaa!" Kataku berteriak histeris. Rengga segera melompat ke balkonku dan membekap mulutku.
"Kamu mau bikin satu komple bangun?" Tanya melihat ke bawah.
"Mm...mm...." kataku menggeleng.
"Apa?"
Aku hanya balas memukul-mukul tangannya yang membekap mulutku.
"Maaf."
"Haah...haah.... huft."
Hening menyelimuti kami. Sampai aku menormalkan napasku.
"Lo kenapa bisa ada disitu?" Tanyaku menatapnya horor.
"Itu rumahku."
"Ga mungkin. Yang disitu itu mahasiswi."
"Kamu lupa sama Tantri?"
"Tantri?"
"Adik aku."
"Iya inget. Tapi berarti itu kamar Tantri kan?"
"Selama aku keluar kota, Tantri yang nempatin kamarku."
"Dan sejak kapan lo tinggal disana?"
"Sejak dua tahun yang lalu."
"Bohong!"
"Aku pernah bohong sama kamu?"
"Engga. Tapi tetep aja. Lo pasti bohong." Kataku mundur selanhkaj kedalam kamar.
"Aku memang jarang menempati kamar itu karena, kesibukanku. Makanya kamu jarang liat aku." Katanya maju selangkah.
"Kemana aja lo selama ini?" Kataku mundur selangkah lagi.
"Aku sibuk, Lingga. Lagipula kamu juga menghilang."
"Itukan lo yang minta. Dan berhenti menggunakan aku-kamu. Kita bukan siapa-siapa."
"Oke. Tapi kan lo yang ga mau dengerin penjelasan gue."
Brak!
"Memang. Dan sekarang gue juga ga mau denger alasan lo muncul lagi." Kataku setelah menutup pintu, menguncinya dan menurunkan gorden.
"Lingga!" Tok! Tok! Tok!
"Pergi sana." Kataku menjauhi pintu menuju kasur. Dia masih mengetuknya beberapa kali. Aku bergeming. Tak lama sudah tidak ada lagi suara dari luar.
For God sake! Takdir macam apa ini? Kenapa? Aku sudah berusaha melupakannya. Saat aku benar-benar akan melupakannya dia kembali? Tidak mungkin. Tidak. Tidak. Tidak. Yang benar tidak dapat dipercaya.
***
"Lihat. Semua orang berbahagia untuk kita." Katanya disampingku.
"Aku masih tidak percaya kamu belahan jiwaku."
"Aku sudah berdiri disini dan kamu masih tidak percaya. Menyedihkan sekali nasibku." Katanya dramatis.
"Belahan jiwa? Memangnya ada yang seperti itu?"
"Ada."
"Seperti?"
"Seperti kita. Aku dan kamu."
"Jangan bercanda. Mana buktinya?"
"Kita kembali bertemu dan berakhir disini."
"Itukan permintaanmu."
"Jadi kau menikahiku tapi tidak mencintaiku?" Tanyanya shock.
"Tentu saja tidak." Kataku santai
"Baiklah. Kalau itu maumu. Aku akan mengatakannya. Kita...." katanya.
"Katakan saja. Kau akan menyesal nanti. Aku memang tidak mencintaimu tapi aku sangat mencintaimu." Kataku menggamit lengannya.
"Apa?"
"Tidak ada siaran ulang." Kataku angkuh.
"Tapi aku masih ragu kamu belahan jiwaku." Lanjutku.
"Kau mau aku membuktikan apalagi?" Tanyanya kesal.
"Tidak perlu bukti. Cukup penjelasan yang menurutku masuk akal."
"Belahan jiwa itu tahu apa yang disuka atau tidak disuka pasangan." Katanya aku hanya mengangguk.
"Belahan jiwa itu saling setia." Lagi aku mengangguk.
"Seperti kita. Aku mengetahui semua tentangmu begitu sebaliknya. Selama delapan tahun kamu menjaga perasaanmu padaku..."
"Itukan karena aku ga bisa move on."
"Begitu juga aku. Berarti kita saling setia kan?"
"Aku tidak yakin denganmu. Dengan keadaanmu mana mungkin kamu tidak khilaf menyukai orang lain?" Kataku skeptis.
"Belahan jiwa itu menerima apa adanya dan adanya apa. Seperti aku yang menerimamu apa adanya dan adanya apa. Walaupun kamu tidak seperti wanita-wanita yang mengelilingiku selama ini." Katanya datar.
"Sudah! Tidak usah dijelaskan lagi. Penjelasanmu bikin pusing. Tidak ada intinya." Kataku kesal mendengar kalimatnya yang terakhir.
"Dan yang terakhir belahan jiwa saling mencintai sampai maut memisahkan. Seperti aku yang akan mencintaimu selamanya sampai maut memisahkan." Katanya mengangkat tubuhku dan memutarnya beberapa kali.
"Turunkan aku, Rengga." Kataku menutup mata.
"Kenapa? Kau suka kan?"
"Iya. Tapi ini masih diatas panggung dan masih banyak tamu undangan."
"Biarkan mereka melihatnya. Aku senang membuatmu senang."
"Tapi nanti kita bisa...." belum sempat aku menyelesaikan kalimatku. BRUGH!
"....jatuh." kataku saat membuka mata dan melihat Rengga berbaring dibawahku menahan sakit. Orang-orang mengelilingi kami. Aku yang melihat muka kesakitan Rengga segera bangun dan berusaha mendudukan Rengga.
"Dasar bodoh. Kita jadi tontonan kan?" Kataku berbisik pada Rengga.
"Inikan memang acara kita." Katanya keras kepala.
"Kau ini."
"Tapi cinta kan?" Katanya menggodaku.
"Bodoh." Kataku memukul bahunya.
"Auw." Katanya meringis.
"Maaf. Ayo bangun. Aku bantu."
"Kau belum jawab pertanyaanku. Tapi cinta kan?"
"Sudahlah. Kau sudah tau jawabannya. Berhenti menggodaku."
"Jawab dulu."
"Iya. Aku cinta."
"Apa?"
"Aku cinta kamu."
"Tatap aku saat kau mengatakannya, Lingga." Katanya meraih daguku. Kami berhenti berjalan dan hanya saling menatap.
"Aku mencintaimu Rengga Eka Pakusadewo." Kataku akhirnya dan segera memalingkan wajah karena aku yakin mukaku pasti sudah memerah.
"Aku tidak dengar. Dan ada apa dengan mukamu?" Katanya lagi menarik daguku.
"Efek make up. Aku sudah mengatakannya tadi. Tidak ada siaran ulang."
"Sekali lagi saja. Tapi lebih keras."
"Huft. Baiklah. AKU MENCINTAIMU RENGGA EKA PAKUSADEWO." Kataku terlalu lantang karena suasana gedung mendadak hening sehingga aku menundukkan kepala. Rengga bergeming. Saat aku mengangkat kepala dia tersenyum dan memelukku.
"Aku juga sangaaat mencintaimu Narina Dwi Erlingga Pakusadewo." Katanya berbisik ditelingaku. Aku balas memelukknya.
"Sudah...sudah...kalian masih punya banyak waktu untuk berpelukan lagi nanti. Sekarang obati Rengga dulu dan segera kembali ke atas pelaminan." Kata Nirin menginterupsi.
"Kau iri dengan kami. Pengganggu." Kata Rengga kesal.
"Biarin. Karena pengganggu ini kau bisa menikahinya kan?" Balas Nirin yang langsung membuat Rengga terdiam.
"Hahahaha...kalian ini. Makanya segera cari pasangan, Rin." Kataku menambahkan.
"Enak saja kalau ngomong." Kata Nirin mulai kesal. Aku dan Rengga saling berpandangan.
"Nirin. Tolong tangani ya. Sepertinya kami tidak akan kembali lagi kesini."
"Baiklah."
.......
"Hei! Kalian mengerjaiku ya?" Teriak Nirin dari kejauhan.
"Kami hanya meminta tolong." Teriak Rengga.
"Dasar kalian pasangan bodoh nan menyebalkan!" Teriak Nirin lagi
"Terima kasih, Nirin." Balasku berteriak.
***
"Ya. Sama-sama. Semoga kalian bahagia selalu. Selamanya." Jawabku saat mobil itu menghilang ditikungan.
Aku juga berharap aku akan menemukan belahan jiwaku nanti. Yang menerimaku apa adanya dan mencintaiku dengan tulus.
END
***
Gue tau endingnya ga ngena. Samasekali. Kapan-kapan kalo ada ide bakal gue ganti kok. Makasih buat masukan yang mau ngasih masukan. Have a nice day! :*

Comments

Popular posts from this blog

Backstabber

Not Saying Word