Backstabber

Keadaan ini sudah berlangsung sejak 3 bulan lalu. Aku merasa bersalah padanya, tapi hei! Bahkan dia bukan siapa-siapanya. Kami berteman sejak semester awal perkuliahan tapi perasaan ini mulai muncul sejak....aku tidak ingat sejak kapan....
6 bulan lalu
Kami--aku, Rima, Dafiq, Nugi dan Fian--berjalan beriringan kembali ke tempat kost. Yah... Walaupun lampu di kiri-kanan kami menyala cukup terang tetap saja menyeramkan berjalan dalam kegelapan apalagi saat itu sudah pukul sepuluh malam dan kost kami walau berbeda 2 rumah masih cukup jauh dari halte bus terdekat. Aku berusaha membuka percakapan karena sejak tadi suasana hening dan aku tidak suka itu.
" Gimana kalo kita main tebak lagu?"  Kataku bersemangat.
"Ngapain sih? Suara lu kan jelek." Kata Nugi seperti biasa.
"Biarin! Abis hening banget. Gue kan takut." Kataku jujur.
"Lu tau ga? Nih! Kalo lu ngarahin tangan kek gini ke pepohonan itu, terus tangan lu berasa panas. Berarti pohon itu ada penunggunya." Kata Fian dengan santainya mempraktekannya.
"Bener tuh. Gue juga sempet dikasih tau sama bokap gue." Kata Nugi lagi ikut mengarahkan tangannya ke arah pepohonan rimbuh di kiri kami.
"Kalian ngapain sih? Udah si becandanya. Ga liat tuh Rima daritadi diem aja." Kataku kesal menyembunyikan ketakutanku.
"Berisik deh kalian. Gue lagi ngobrol sama Dafiq juga." Kata Rima santai.
"Ciee..." teriak kami -- aku, Fian dan Nugi -- serempak.
"Ga jelas lu semua." Kali ini Dafiq berkata.
"Ya..maap. namanya juga orang takut, Fiq." Kataku menunduk.
Entah kenapa aku merasa kesal karena Dafiq memarahiku -- kami lebih tepatnya.
"Lu kenapa?" Tanya Fian berjalan disebelahku.
"Gapapa. Lu jadinya daftar ga?"  Kataku mengalihkan pembicaraan. Sedikit risih dengan keberadaan Fian disebelahku.
"Ciee...ngobrol aja berdua gue dicuekin." Kata Nugi berada disisiku yang lain.
"Kepo deh. Gue lagi ngomongin lu." Kataku sebal sekaligus sedikit bersyukur Nugi mengalihkan perhatianku.
"Yeu...sepik aja lu biar gue ga gangguin lu pedekate sama Fian kan?"
"Apaan si?" Kataku menyikutnya dan menengok ke sebelahku. Sudah tidak ada Fian disana. Fian berjalan didepan kami sibuk menatap layar handphone-nya.
"Sibuk banget si. Balesin siapa sih?" Kataku mensejajarkan langkahku dengannya dan meninggalkan Nugi dibelakang, Nugi memang pengertian. Dia tahu aku suka dengan Fian makanya dia tidak mengganggu kami dan asik bernyanyi entah apa dibelakang.
"Biasa grup."
"Hoo...terus jadi maju ga?"
"Masih ga tau."
"Kok gitu sih? Maju aja. Gue dukung kok."
"Ga segampang itu kali buat maju."
"Gue bantu deh urus berkasnya."
"Liat nanti ya."
"Hmm...." aku menyerah bertanya pada Fian. Dan melambatkan langkahku sehingga kembali berada disebelah Nugi.
"Kenapa lu?"
"Gapapa. Si Fian masih belum mau maju."
"Kok gitu?"
"Ga tau."
"Terus lu ga bilang apa-apa lagi gitu?"
"Bilang apaan?"
"Lu suka sama dialah. Apalagi."
"Dih aneh dasar. Ya kagaklah. Ya kali."
Tiba-tiba Rima berjalan lebih cepat disebelah kami tanpa berkata apapun. Segera aku menyusulnya. Menanyakan apa yang tengah terjadi saat dia mengobrol dengan Dafiq dibelakang kami.
"Lu kenapa, Rim?"
"Gapapa. Gue duluan ya. Nanti gue ke kamar lu." Katanya melanjutkan langkahnya dan berjalan disebelah Fian dalam diam.
"Lu ngomong apaan sama dia?" Tanyaku pada Dafiq yang berjalan disebelah Nugi.
"Ga ngomong apa-apa. Dianya aja jadi baper." Kata Dafiq santai.
"Duh...masalah." kataku pelan.
"Jadi mau pada beli makan dulu ga?"
"Jadi. Gue laper banget." Kata Nugi memegangi perutnya.
"Yaudah gue duluan ya. Gue mau minta bungkus aja." Kataku berlari kecil mengejar Fian dan Rima yang sudah jauh didepan. Beruntung kami warung makan tersebut masih buka pukul segini. Kalau tidak aku pasti kelaparan nanti malam. Dan lebih beruntung lagi kostan tempatku dan Rima tinggal hanya berjarak 2 meter dari warung makan tersebut.
Hari itu adalah hari terakhir kami berjalan bersama di malam hari.

5 bulan lalu
Sudah sejak sebulan Fian sibuk dengan organisasinya dan Nugi dengan kepanitiannya. Kami masih sering bertemu saat bersama-sama ke kampus. Dan sudah sejak sebulan juga Dafiq dan Rima tidak saling bertegur sapa. Aku jadi bingung sekaligus serba salah.
Malam itu, setelah aku tiba di kostan Rima telah berdiri di depan pintu kamarku -- menunggu. Dia bercerita apa yang terjadi saat ditengah perjalanan tadi. Dia bilang dia mengutarakan perasaannya pada Dafiq. Dafiq yang sudah tau sebelumnya karena insiden membuka barang pribadi -- handphone -- milik Rima memberi tanggapan yang tidak Rima sangka. Hal itulah yang memicu pertengkaran mereka dan membuatku menjadi serba salah. Rima tau bahwa Dafiq masih belum bisa move on, tapi Rima memintanya untuk membuka hati. Tidak salah memang, aku juga akan seperti itu jika menyangkut Fian. Aku sudah mencoba berbicara pada Dafiq, tapi ternyata masalah mereka tidak sesederhana itu dan aku semakin sibuk dengan aktivitasku dan menciptakan jarak diantara kami berlima.
Sebenarnya tidak ada yang berubah dari kami, hanya saja tidak ada lagi obrolan sampai larut dan berjalan beriringan di malam hari. Satu hal yang pasti, perasaanku pada Fian mulai hilang
.......

TBC

P.S cerita ini hanya fiktif belaka yang ditambah dengan beberapa kejadian nyata yang di dramatisir

Comments

Popular posts from this blog

Destiny?

Not Saying Word