Aku bodoh. Ya, sungguh bodoh. Kalau saja saat itu aku memintanya menunggu.... Tapi aku tidak ingin bersikap egois. Aku juga tidak yakin dia akan menunggu. Tapi kalimatnya saat itu seperti memintaku untuk mempercayainya. Kenapa aku tidak menyadarinya? Betapa bodohnya aku. *** Flashback on... "Aku beneran suka sama kamu. Apa kamu ga bisa lihat itu?" Katanya setengah gusar. Berulang kali dia mengatakan hal yang sama. "Kamu kalo becanda jangan keterlaluan dong, Lang." Kataku berusaha untuk tidak terpancing. "Apa lagi yang harus aku buktiin supaya kamu percaya?" "Ga ada, Lang. Udah cukup. Kita punya masa depan yang berbeda. Apa kamu ga bisa lihat?" "Tapi aku serius. Aku bakal nunggu kamu sampe kita dipertemukan lagi. Dan aku yakin kita akan dipertemukan lagi." "Engga, Lang. Kamu ga perlu nunggu karena aku juga ga bakal nunggu kamu." "Kamu serius? Kalo kamu minta aku nunggu aku pasti akan nunggu kamu." Katanya ka
Keadaan ini sudah berlangsung sejak 3 bulan lalu. Aku merasa bersalah padanya, tapi hei! Bahkan dia bukan siapa-siapanya. Kami berteman sejak semester awal perkuliahan tapi perasaan ini mulai muncul sejak....aku tidak ingat sejak kapan.... 6 bulan lalu Kami--aku, Rima, Dafiq, Nugi dan Fian--berjalan beriringan kembali ke tempat kost. Yah... Walaupun lampu di kiri-kanan kami menyala cukup terang tetap saja menyeramkan berjalan dalam kegelapan apalagi saat itu sudah pukul sepuluh malam dan kost kami walau berbeda 2 rumah masih cukup jauh dari halte bus terdekat. Aku berusaha membuka percakapan karena sejak tadi suasana hening dan aku tidak suka itu. " Gimana kalo kita main tebak lagu?" Kataku bersemangat. "Ngapain sih? Suara lu kan jelek." Kata Nugi seperti biasa. "Biarin! Abis hening banget. Gue kan takut." Kataku jujur. "Lu tau ga? Nih! Kalo lu ngarahin tangan kek gini ke pepohonan itu, terus tangan lu berasa panas. Berarti pohon itu ada penung
Comments
Post a Comment