Petrichor

"Kenapa lagi?"
"Gapapa. Biasa. Hehehehe"
"Kalo ada masalah, cerita aja." Katanya menatapku iba sambil menyerahkan segelas cokelat panas.
"Gapapa. Bentar lagi juga baikan." Kataku menerimanya.
Ping! Aku langsung melihat layar handphone-ku.

Kamu lagi disana kan? Kalo udah mau pulang kabarin. Biar aku jemput.

Jadi, aku langsung merapikan tasku dan membalas pesannya. Aku mau pulang sekarang.

"Dia hubungin lu?"
"Iya."
"Udah mau pulang?"
"Nunggu dia jemput kesini."
....
"Gue pernah bilang ga si gue suka bau tanah abis ujan?"
"Iya. Petrichor. Ampe bosen. Lu juga suka pelangi."
"Hahahaha...maaf ya. Selalu nyari lu kalo lagi kek gini."
"Gapapa. Asal lu bisa inget gue aja kek Petrichor. Bakal ada tiap lu butuh."
"So sweet. Hahahaha."
....
TIN! TIN!
"Maaf."
"Ga ada yang perlu dimaafin kok."
"Gue pulang ya. Terima kasih."
"Ya. Hati hati. Inget gue sebagai Petrichor lu terus ya."
"Kenapa?"
"Gue ga perlu jadi pelangi yang belum tentu ada abis ujan, tapi gue bakal pastiin selalu ada buat lu seperti petrichor kala ujan berenti." Katanya menatapku.
Aku hanya bisa tersenyum mendengar perkataannya, meletakkan gelas, mengambil tas dan berjalan ke arah pintu.

"Sampai ketemu lagi." Kataku terakhir kali sebelum menutup pintu rumahnya.

Maaf karena lebih memilih pelangi. Terima kasih karena membiarkanku mencintaimu seperti petrichor.

Comments

Popular posts from this blog

Not Saying Word

Backstabber