Their First Meeting

Pagi ini Saza tergesa-gesa karena hampir tertinggal kereta bandara dengan koper kecil ditangannya.
Setelah tadi pagi motornya harus mampir ke tambal ban, didalem kereta kopernya hampir rusak karena terbentur pintu kereta dan sekarang dia harus menyalip diantara kerumunan orang menaiki tangga Stasiun Sudirman untuk bisa menyebrang ke stasiun bandara menenteng kopernya yang tidak terlalu besar tapi beratnya cukup membuat tangannya serasa ingin patah.
What a life!!!
Saza berteriak dalam hati dan hampir mengumpat setelah kopernya terbentur tas kerja seseorang yang berlawanan arah dengannya. Beruntung pegangannya pada koper cukup kuat walaupun dia tidak yakin tangannya tidak patah saat itu. Tanpa memedulikan perkataan orang yang minta maaf padanya, dia kembali bergegas dan akhirnya sampai didalam kereta bandara yang pintunya tertutup dibelakangnya dua detik kemudian.
***
Saga hari ini cukup terlambat. Walaupun dia sering terlambat, hari ini adalah harinya yang sangat terlambat sehingga ia harus mengejar kereta berikutnya dari Stasiun Sudirman menuju Tebet yang akan tiba sebentar lagi. Pagi ini, saat dia mencoba memesan ojol aplikasinya malah error. Setelah akhirnya dapat, dia baru sadar bahwa drop off point-nya berbeda dan bahkan dia tidak sadar kalau membayar dengan cash karena biasanya otomatis ke OVO yang memang dia alokasikan untuk itu. Oleh karenanya saat turun dari motor yang menurunkannya di jembatan menuju Stasiun Sudirman gara-gara salah titik drop off tadi, dia harus merogoh bagian terdalam tasnya untuk mencari recehan yang cukup makan waktu. Belum lagi pengemudi yang tidak sabaran. Akhirnya dia jalan terburu-buru menuruni tangga jembatan untuk masuk ke dalam Stasiun Sudirman tidak sadar bahwa didepannya ada perempuan dengan koper yang kelihatan berat ditangannya. Tas kerjanya menabrak koper tersebut dan hampir membuat perempuan itu terjatuh tapi ternyata tidak.
"EH...ANJIR" teriaknya kaget.
"Sorry ya. Sorry banget ga sengaja. Gue juga lagi buru-buru." Katanya sambil membungkuk meminta maaf. Tidak sadar bahwa perempuan itu tidak memedulikannya.
Saat dia sadar tidak ada suara omelan atau apapun dari perempuan itu dia menegakan badannya, memperhatikan sekitar.
Cepet amat anjir ilangnya. Gue beneran nabrak orang ga si? Bodo amat. Gue telat yak!
Memukul jidatnya sendiri, dia akhirnya kembali melangkah turun dan hampir saja ketinggalan kereta karena jika dia tidak dapat kereta ini, maka dia harus menunggu 30 menit lagi sampai kereta selanjutnya datang.
Ini lugagge tag cewe itu kali ya. Berarti gue beneran nabrak orang ya. Cewe pula. Kuat juga tu cewe kagak jatoh. Katanya dalam hati memutar-mutar tag yang sempat dia pungut di tangga tadi sambil berpegangan pada tiang kereta.
***
Sampai di kantor Saga sudah melupakan luggage tag yang dia sempat pungut pagi ini karena dia harus segera mempersiapkan bahan presentasinya di meeting bulanan yang akan di mulai 10 menit lagi.
***
Saga adalah orang yang tahu diri, tiap kali dia datang terlambat maka dengan suka rela dia akan menjadi orang yang pulang terakhir saat memang tidak ada yang memutuskan lembur. Selain karena akan susah pesan ojol dan fare yang naik dia malas harus berdesak-desakan di dalam kereta. Oleh karena itu, dia akhirnya kepikiran tag tadi pagi yang sempat dia pungut. Ternyata pada lugagge tag EXO tersebut tertulis nama, nomor handphone dan alamat e-mail pemiliknya.

Salsabila Zahara
083213781096
Sz2farest@gmail.com

"Orang kalo keilangan ginian bakal beli baru ga ya? Apa bakal dicariin? Apa gue coba hubungin aja ya nomernya?" Kata Saga berbicara pada diri sendiri sambil menimang-nimang tag ditangannya.
"Yaudahlah. Niat gue baik gini." Katanya akhirnya mengambil handphone-nya diatas meja dan mengetik nomor yang ada.
'Apakah benar ini nomor Salsabila Zahara?'
***
Malam setelah selesai rapat dan persiapan untuk keesokannya, Saza baru benar-benar bisa membaca seluruh pesan yang masuk setelah dari dia tiba di tujuan, beristirahat sebentar dan langsung rapat hanya sempat membalas pesan yang benar-benar penting.
Saat ini jam menunjukan pukul 22.45 sehingga Saza masih punya waktu 15 menit sebelum pukul 11 malam untuk melaksanakan ritualnya mulai dari mandi sampai maskeran sebelum tidur. Jadi, dia mulai membalas pesan satu persatu dari bawah.
"Siapa nih? Kok nomor aja?" Tanyanya pada diri sendiri sambil mengetikkan balasan pada pesan yang dia terima.
'Benar. Dengan siapa ya?'
Setelahnya, Saza beranjak bangun dan memulai ritualnya karena jam sudah menunjukan pukul 23.05.
***
Saga baru saja dari dapur karena kehausan saat dia melihat layar handphone-nya yang menyala tiba-tiba karena notifikasi pesan masuk.
"Malem juga balesnya ya." Kata Saga dan kembali mengetikkan balasan.
'Saya yang tadi pagi nabrak kamu di tangga Stasiun Sudirman.'
***
Pagi ini, Saza harus kembali pergi ke kebun namun terlebih dahulu dia harus mengurus surat perizinan jalannya di pos jaga untuk jalan masuk ke dalam perkebunan. Sebenarnya sekaligus meminta diantar karena dia mudah tersasar.
Kenapa dia bisa punya nomor gue ya? Perasaan ga ada gue jatohin barang dah pas nabrak kemaren. Tapi bangsul juga ya tabrakan kemaren, untung tangan gue ga beneran patah. Pikir Saza masih fokus pada pesan dari nomor tak dikenal dan dia malah berjalan melewati pos jaga tidak sadar ada lubang parit kering yang tertutup dedaunan didepannya.
BRUKK!!
"Suara apa itu? Coba cek!" Kata kepala dinas yang seharusnya bersama Saza tadi.
"Saza, kamu ngapain disitu?"
"Hehehe...ga tau pak!" Jawab Saza sambil meringis menahan sakit. Sungguh dia yakin kakinya terkilir kalau tidak bisa dibilang patah. Jatuh ke parit dengan kedalaman 3 meter tidak mungkin kakinya tidak kenapa napa.
"Kok bisa sih, Za?" teman Saza, Retno yang juga sebagai asisten langsung kepala dinasnya tiba di bibir parit dan melengok ke bawah.
"Iya. Mana gue tau si. Tolongin dong!" Kata Saza mukanya sudah merah menahan sakit dan malu tentu saja. Beruntung handphone-nya tidak hancur, hanya retak saja tempered glass-nya dan kotor terkena tanah merah di dalam parit.
***
Saza sudah ditarik keatas dan sedang duduk dibangku depan pos jaga. Akhirnya, hanya Retno dan kepala dinas-nya yang survey ke dalam perkebunan karena kakinya benar terkilir dan harus dibebat. Memandangi handphone-nya dia memutuskan membalas chat terakhir yang membuatnya terjatuh ke dalam parit.
'Ohiya, ada apa ya? Kenapa kamu bisa kontak saya kalo boleh tau?'
'Iya. Kemaren pas nabrak koper lu, keknya luggage tag lu jatuh dan sekarang ada di gue.'
'Luggage tag? Boleh tolong fotoin?'
No name sent a photo.
'Oh iya. Bener. Terima kasih sudah disimpenin.'
'Eng...sebenernya gue chat mau balikin dan mau minta maaf secara formal karena nabrak lu kemaren. Nama gue Saga.'
'Baik mas Saga. Saya masih di luar kota, mungkin akan saya kabari kalo saya sudah kembali.'
'Oke. Ditunggu ya, mba?'
'??'
'Dipanggilnya apa ya mba? Ini kan gue cuma tau nama lengkap aja.'
'Oh. Saya Saza. Terima kasih sekali lagi mas Saga sudah mau mengabari saya.'
'Iya sama sama, mba. Kaku bener. Gue yang minta maaf karena udah nabrak.'
"Za! Gimana?" tanya Retno berlari menghampirinya.
"Masih sakit. Maaf ya jadi ngerepotin." Kata Saza dengan senyum bersalah.
"Maaf ya pak." Kata Saza lagi melihat atasannya yang sudah didekat mereka.
"Saya harap kamu masih bisa mengurus kebutuhanmu sendiri ya, Saza. Jangan sampai kerjaan kita disini tertunda gara-gara kecerobohanmu." Balas atasannya tegas.
"Iya pak. Baik." Jawab Saza mengangguk. Dia tahu dengan kondisinya berarti dia harus siap didepan laptop dan mengolah apapun data yang dibutuhkan dengan segera.
***
Hari ini adalah jadwal Saza dan timnya pulang. Tidak perlu diceritakan bagaimana dia bisa stay strong tetap beraktivitas walaupun kondisi kakinya belum sembuh benar dan bisa menyelesaikan seluruh tugasnya. Jadi, hari ini dengan terpincang-pincang dia menggeret kopernya ke bandara masih dibantu Retno sebenarnya. Tidak tahu setelah di Jakarta menuju Depok nanti.
***
"Lu kalo keilangan barang, terus ternyata ada yang nemuin barang lu itu dan mau balikin gimana?" Tanya Saga pada teman kantornya di pantry pagi ini.
"Ya gue senenglah. Langsung gue kabarin janjian di mana."
"Bener kan?"
"Apaan?"
"Bener kan kek gitu? Terus kalo ternyata lu lagi ga satu kota sama yang nemuin barang lu dan baru balik besok-besoknya. Lu bakal tetep ngabarin kan kalo udah bisa ketemu?"
"Yaiyalah. Kecuali barangnya emang ga penting2 banget dan ga ada yang berharga didalamnya."
"Terus kalo dia bilang dia bakal ngabarin tapi sampe sekarang belum ngabarin lagi, gue perlu tanya ga?"
"Lu nemuin barang orang?"
"Iya."
"Yaudah. Chat lagi aja. Kali lupa orangnya."
...
"Emang kenapa si?"
"Gapapa. Gue chat lagi deh ya berarti soalnya dia ga ngabarin lagi."
"Apaan si emang?"
"Luggage tag."
"Hoalah."
"Penting ga?"
"Tergantung."
"Thank you, Han" Kata Saga sebelum keluar dari pantry membawa cangkir kopinya.
'P for Permisi Mba Saza. Ini Saga kalo mba lupa, berniat mengembalikan luggage tag mba dan mentraktir sebagai permintaan maaf.'
Setelahnya Saga mengunci hapenya dan kembali pada pekerjaannya yang belum selesai.
***
Saza sudah tiba di Bandara Soetta siang ini. Retno membantunya mengurus tiket kereta Bandara karena kasihan melihatnya kerepotan berjalan dengan koper yang tidak terlalu besar namun terlihat berat. Jadi, Saza menunggu Retno kembali dari loket dan membuka handphonenya setelah sebelumnya dia airplane mode saat di pesawat.
Satu chat teratas dari nomor tak dikenal karena Saza memang tidak berniat menyimpan nomornya mengingat setelah bertemu dan menerima tag-nya mereka tidak akan saling bertemu lagi. Namun, saat dia membaca isi chat Saga dia tersenyum. Menarik.
Jadi dia memutuskan membalas isinya dan meminta maaf karena lupa mengabari lebih lanjut.
'Ah iya. Saya lupa. Terima kasih Masa Saga sudah mengingatkan. Kebetulan saya pulang hari ini. Untuk tawaran traktirannya sepertinya tidak perlu. Saya tunggu di tangga Stasiun Sudirman hari ini jam 5 sore. Semoga jam segitu mas Saga sudah pulang kantor ya. Terima kasih sekali lagi.'
***
"Hmm...kaku juga ya ni orang."
'Baik. Tapi bagaimana kalo kita janjian di Mie Kriting depan pintu stasiun takut gue lama. Biar lu ada tempat duduk juga, bawa koper kan pasti?'
Saga membalas pesannya dan kembali melanjutkan suapannya yang tertunda.
"Apa dia ga nyaman ya sama gue karena bahasa chat gue yang sok akrab?"
"Ya. Iyalah. Kan ga liat mukanya juga udah sok sksd gue."
"Yaudahlah. Belum tentu ketemu lagi juga kan?" Kata Saga masih bermonolog.
***
Saza sudah tiba di tempat Mie Kriting lebih cepat 15 menit dari waktu janjian. Untung saja tepat di depan pintu masuknya ada bangku kosong sehingga ia dapat segera duduk. Memang benar, ada baiknya dia menuruti isi pesan Saga karena dia akan benar-benar merasa seperti gelandangan jika duduk di tangga dengan kakinya yang diperban dan kopernya yang karena berada di kebun sudah berubah warna menjadi merah tanah.
Menuju tempat yang disepakati dia memutuskan untuk membalas pesan terakhir Saga.
'Sore mas Saga. Saya sudah di Mie Kriting persis depan pintu dengan koper ya. Saya tunggu.'
***
"Terima kasih ya, pak." Kata Saga sambil menyerahkan helm pada pengemudi ojolnya. Kemudian mengeluarkan handphone dari saku kemejanya dan segera menuju tempat yang disepakati.
Benar saja, dia melihat seorang perempuan dengan kaki diperban yang terdapat koper berwarna tanah disampingnya. Hanya ada segelas minuman didepan perempuan itu yang baru diminum seperempatnya. Saga jadi sedikit tidak merasa bersalah karena sebenarnya jalur pulang dia tadi lebih lama dari biasanya karena tidak bisa melakukan putar balik di tempat biasa. Jadi, dari pada berpikir cara memohon maaf dan semacamnya Saga memutuskan mendatangi meja tersebut.
***
"Hai! Udah lama ya?"
"Tidak terlalu. Mas Saga benar?"
"Iya. Saga." Jawabnya mengulurkan tangan untuk bersalaman.
"Saza." Balas Saza menjabat tangan pria didepannya.
"Mbanya udah pesan makan? Mau saya pesankan?"
"Tidak perlu. Saya langsung saja."
"Saya memaksa, boleh?"
Saza bingung karena sebenarnya dia memang kelaparan tetapi dia juga butuh segera berbaring karena sudah membayangkan kasur empuk yang menunggunya di rumah. Setelah beberapa detik dalam keheningan dengan posisi berdiri Saga yang janggal karena menghalangi jalan dan disadarkan oleh suara,
"Permisi, saya mau lewat." Akhirnya Saza mengangguk mengiyakan.
"Mau pesan apa?" Tanya Saga.
"Bakso Pangsit saja."
"Oke."
***
Sembari menunggu pesanan datang, Saga menyerahkan luggage tag yang ada padanya dan mencoba membuka percakapan.
"Jadi habis dinas, mba?"
"Iya. Masnya sendiri baru pulang kantor?"
"Iya."
...
"Seinget saya, kopernya kemaren warna biru dongker. Apa saya salah inget ya?"
Saza mengerutkan keningnya sekilas. Bukan karena tidak suka tapi karena ternyata Saga memperhatikan hal kecil yang cukup aneh kalau dipikir sebenarnya.
"Eh? Iya. Kena debu di kebun kemarin."
"Wah! Punya kebun mba?"
"Engga. Saya surveyor di perusahaan perkebunan."
"Oh iya? Saya sendiri kerja di perusahaan keuangan mba."
Dua kali. Saga menghitung kali kedua Saza mengerutkan keningnya karena perkataannya. Jelas saja Saza mengerutkan kening karena jawaban Saga yang padahal sama sekali tidak ditanyakan Saza.
***
Ini orang aneh, tapi keliatan pinter walaupun banyak tanya. Menarik. Itu yang Saza simpulkan dalam hati sambil memakan baksonya.
"Oiya, mba pulang naik kereta? Ke arah mana, mba?"
"Depok."
"Jauh juga ya, mba. Kenapa ga cari tempat tinggal dekat kantor?"
"Gapapa."
Saga hanya mengangguk, paham bahwa orang didepannya tidak ingin berbicara lebih lanjut. Jadi, dia coba mencari topik lain sampai gelas dan mangkuk mereka kosong.
***
"Terima kasih Saga. Padahal kamu tidak perlu ikut naik."
"Gapapa. Ngobrol sama kamu menyenangkan. Kalo lewat chat mungkin balesnya bakal lama. Lagian kakimu kayak gini. Apa ga repot?"
"Repot. Tapi gimana lagi kan?" Jawab Saza mengedikkan bahu. Mereka sudah berada dalam gerbong kereta arah Bogor mengantar Saza ke Depok. Entah pembicaraan seperti apa yang membuat Saga memutuskan mengantarkan Saza dan Saza mengiyakan tawaran Saga untuk mengantarnya. Satu hal yang pasti, mereka mulai tertarik satu sama lain.
***
Itu merupakan awal dari pertemuan pertemuan mereka selanjutnya. Ya, mereka sepakat bahwa awal pertemuan mereka saat saling memperkenalkan diri secara langsung dan bukan saat mereka bertabrakan di tangga Sudirman. Namun, mereka meyakini bahwa tabrakan tersebut memang bukan kebetulan, apalagi kebetulan yang disengaja.
-FIN-

Comments

Popular posts from this blog

Backstabber

Not Saying Word