The Pink Hoodie #1 (They Finally Meet)

Gue ngeliat dia di kedai kopi pinggir jalan, masih pake hoodie-nya yang membuat gue pertama kali tertarik sama sosoknya. Gue memutuskan memberanikan diri menyapanya.
___
"Hai!" Seseorang menepuk pundakku.
"Hai?" Jawabku bingung.
"Kenalin, gue Ega." Katanya mengulurkan tangan.
"Oh...Tami."
"Kaget ya?" Katanya duduk didepanku.
"Haha..iya." Jawabku menarik tudung hoodie-ku ke belakang.
"Gue beberapa kali liat hoodie ini di jalan. Gue pikir orangnya beda terus, ternyata sama." Jelasnya. Aku masih menatapnya bingung dan curiga mungkin karena dia langsung menambahkan,
"Nah iya. Sorry kalo ngerasa ga nyaman. Jadi, gue sama sekali ga bermaksud stalking atau gimana. Eh...lu ga buru-buru kan? Mau denger ceritanya ga?" Tanyanya sedikit panik.
"Engga. Santai kok." Jawabku sedikit tersenyum karena yang ada dipikiranku saat ini adalah bagaimana mungkin ada laki-laki yang memperhatikan sekitar. Lebih tepatnya memperhatikan cukup detail dan memutuskan menyapa orang yang dia perhatikan.
"Iya. Jadi, pertama kali gue liat pas lu bawa motor siang bolong, warnanya pink terang banget hoodie lu itu. Terus pas berhenti di lampu merah kebetulan di belakang lu gue berhenti. Ternyata ada emot sedih. Yaudah kan. Terus, kita beda arah dari lampu merah." Jelasnya. Aku hanya mengangguk jadi dia melanjutkan.
"Ketemu lagi di transjakarta karena kebetulan gue lagi males bawa motor. Gue sadar pas lu turun dan gue turun di halte selanjutnya. Gue pikir hoodie pink biasa, pas gue perhatiin lagi ternyata emot sedih yang sama. Gue jadi mikir, apa lu pake hoodie buat bilang kalo mood lu lagi ga bagus hari itu apa gimana."
"Menarik. Lu ga mau pesen minum, Ga?" Kataku menawarinya karena ceritanya sepertinya akan sangat panjang.
"Eh...iya. Gue pesen deh. Mba!" Katanya memanggil pramusaji untuk memesan. Setelah selesai dengan pesanannya yang ternyata dia malah memesan coklat bukan kopi seperti dugaanku dia melanjutkan ceritanya.
"Terus yang ketiga kalinya, gue rasa kita tinggal di kota yang sama karena gue liat lu pas belok ke perumahan dan gue baru mau balik ke rumah. Dalam hati, gue bilang gini, tapi lu jangan ketawa ya. Kalo akhirnya ketemu yang kelima kalinya gue bakal nyapa lu. Gitu."
"Tunggu. Kan baru tiga?"
"Iya. Maka itu, kalo dua kali lagi ketemu berarti emang gue harus n
yapa."
"Jadi ini yang kelima?"
"Bukan. Yang keenam." Katanya senyum. Aku tidak mengerti. Sungguh. Pesanannya datang dan dia menyesap minumannya sesaat.
"Iya. Pertemuan keempat gue ngeliat lu lagi di tj. Ga tau ketemu aja. Kali ini gue yakin kita tinggal di kota yang sama karena gue sama lu turun di halte yang sama dan sama-sama menunggu tj selanjutnya. Saat itu, lu lagi pake headset liat video, lucu harusnya. Tapi pas gue perhatiin mata lu lagi berkaca-kaca dan berusaha ga suudzon mungkin karena lu nahan tawa liat tu video." Jelasnya. Aku hendak menanyakan sesuatu karena bagaimana dia bisa tau video itu video lucu. Saat itu, aku mengingat aku memang berusaha untuk menonton hal yang lucu demi mengalihkan pikiranku dari seseorang. Dia langsung menghentikanku.
"Terus, gue tau karena gue juga suka liat video yang sama. Terus lagi, yang kelima kalinya gue ketemu lu emang ga lagi nangis atau masang headset tapi pas mau gue sapa, ternyata saat itu lu dijemput sama seseorang." Katanya. Ada jeda cukup lama. Entah apa yang dia pikirkan. Kalau aku, aku memikirkan bagaimana ada orang yang bisa percaya hal seperti kebetulan dan takdir.
"Takdir?"
"Lu bilang apa? Takdir?" Tanyanya balik.
"Eh...gue pikir gue cuma ngomong dalem hati. Lu denger?" Kataku tersenyum kikuk.
"Iya. Lu percaya takdir?" Tanyanya antusias. Aku menjawab dengan mengedikkan bahu. Aku sempat percaya, tapi sejak saat itu, saat dia melihatku dengan headset menonton video dengan mata berkaca-kaca aku mulai mempertanyakan takdir.
"Sebenernya, saat lu liat gue lagi nahan tawa sampai mata gue berkaca-kaca seperti yang lu bilang gue agak sangsi sama takdir." Jawabku menggunakan persepsinya meyakinkan bahwa memang aku berkaca-kaca karena berusaha menahan tawa bukan tangis yang berusaha ku tahan.
"Oh." Dia melihatku curiga dan sedikit tidak paham sekilas karena dia langsung kembali pada pesanannya. Kami kembali sibuk dengan urusan masing-masing.
***
"Mau balik sekarang?"
"Iya. Udah abis kan makanan gue." Jawabku.
"Gue boleh minta nomor lu?"
"Buat apa?"
"Ngobrol?"
"Well, okay." Kataku menyerahkan kartu nama.
"Kok ga ada jabatan dan kantornya?" Tanyanya membolak-balik kartu namaku.
"Sengaja buat, biar ga ribet. Gue suka ga sengaja nabrak mobil orang kalo lagi bawa motor. Jadi...ya biar ga ribet aja. Sekalian kalo kebetulan ketemu temen lama dan hilang kontak."
"Oh..oke." Jawabnya memasukan kartu namaku ke dalam kantong depannya.
"Hati-hati, Tami."
"Lu juga ya, Ga. See you when I see you?" Kataku tersenyum, menarik kepala hoodieku menutupi kepala.
"See you, too." Balasnya.
___

Comments

Popular posts from this blog

Backstabber

Not Saying Word