Hanahaki

"Ah... Sial! Kenapa payungku lupa aku pindahkan si?!" Setengah menggerutu aku berlari kecil menuju halte. 
"Hujan lagi. Apakah sudah musimnya?" Kataku menjulurkan tangan sedikit keluar dari atap halte merasakan rintik hujan. 
___
1 tahun lalu... 
Tiba-tiba ada sepatu berbeda warna dan ukuran didepanku saat turun di halte dengan menunduk, karena hujan yang mulai turun.
"Pasti lupa bawa payung lagi." Katamu dengan tangan diatas kepalaku berusaha melindungi dari hujan walaupun bagian belakangku jelas tetap sedikit kebasahan. Aku hanya membalasmu dengan cengiran sedikit merasa bersalah. 
"Ayo!" Katamu menarikku berjalan keluar halte. 
"Kenapa cuma bawa satu payung?"
"Soalnya payung ini besar..."
"Mana ada?"
"... Untukmu yang berbadan kecil. Aku kan belum selesai berbicara." Katamu mengusak rambutku. Untung saja kita sedang dalam perjalanan pulang sehingga aku tidak terlalu kesal dengan rambutku yang menjadi berantakan. 
___
"Kamu tahu hanahaki?" Tanyaku saat kita sedang berada dirumahmu karena mama pergi pagi-pagi sekali dan menitipkanku pada ibumu untuk sarapan bersama. Untung hari ini hari libur walaupun di luar rintik hujan mulai turun. 
"Baru dengar. Apa itu hanahaki?" Tanyamu sambil menggandengku ke ruang makan mendengar ibumu memanggil karena sarapan sudah siap. 
"Itu semacam penyakit saat terlalu mencintai seseorang maka akan tumbuh bunga pada paru-parunya dan dalam beberapa kasus cinta tak terbalas, bunga itu akan merenggut nyawa inangnya." Jelasku. 
"Aneh. Memang kita hidup di zaman apa sampai ada penyakit seperti itu." Katamu menanggapiku sambil lalu. 
"Tante, tante tahu hanahaki?" Tanyaku pada ibumu karena tidak puas dengan tanggapanmu. 
"Wah... Tahu dari mana kamu? Itu adalah legenda seingat tante karena diceritakan turun temurun. Tante tidak pernah melihat langsung karena di zaman sekarang hal seperti itu hampir tidak ada."
"Tapi ada kan, tan?" Tanyaku penasaran. 
"Iya. Kasus seperti itu jarang sekali diberitakan karena dapat menyebabkan kepanikan."
"Kenapa?" Tanyaku lebih lanjut. 
"Tante tidak yakin tapi hanahaki dipandang sebagai kutukan sehingga akan membuat penderita dan orang-orang disekitarnya dijauhi. Padahal hanahaki bukan penyakit menular."
... 
"Hanahaki hanya terjadi pada orang-orang terpilih. Dibanding kutukan, tante melihatnya sebagai anugerah karena seorang bloomer, sebutan penderita hanahaki, hanya dapat menumbuhkan satu bunga selama hidupnya jadi bisa dipastikan ia akan setia sampai akhir hayatnya dan beruntunglah mereka yang bertemu pasangannya karena hanahaki." Lanjut ibumu. 
"Mami aneh deh... Mana ada penyakit macam itu. Kebanyakan nonton drama nih mami. Udah ayo makan aja, mi." Katamu memutus pembicaraan dan mengarahkan piringku mendekat. 
"Yah... Mami juga ga tahu. Pada beberapa kasus, bloomer yang memutuskan mengangkat penyakitnya dengan operasi akan kehilangan sepenuhnya memori dengan orang yang ia cintai."
"Udah, mi. Liat nih dia ga makan malah ngelamun." Katamu menunjukku yang memang setengah melamun. 
"Hahahaha... Udah ga usah dipikirin. Itu hanya legenda. Mungkin memang dimaksudkan untuk mengingatkan kita untuk menghargai orang yang mencintai kita dan cinta itu sendiri." Kata ibumu menepuk kepalaku sekilas dan melanjutkan makannya. Aku pun melakukan hal yang sama. 
___
"Katanya mau jalan sama Anto kenapa masih disini?" Tanyamu masih fokus pada game yang sedang kamu mainkan. 
"Ga liat apa diluar hujan?" Tanyaku kesal karena tidak jadi jalan dan kamu menanyakan hal yang sudah jelas. 
"Kan bisa naik mobil."
"Anto ga punya mobil."
"Apa aku bilang, kere begitu masih mau kamu terima."
"Ya memang ada yang salah? Aku kan suka dia bukan karena dia punya mobil. Lagi kamu ngapain main kesini. Gegara kamu deh ini kayaknya jadi hujan."
"Mana ada. Yang suka bawa hujan tuh kamu. Inget ga waktu aku di taman dan kamu tiba-tiba nyusul? Atau pas aku main sama temen-temen aku kamu tiba-tiba ikut karena mau kenalan sama Doni yang katamu ganteng?"
"Aku bukan manusia hujan ya. Emang kita hidup di abad 21 apa?" Kataku setelah memukul bahumu cukup kencang sehingga kamu menghentikan game-mu sebentar. 
"Sakit, njir. Aku temenin deh sampe ujannya reda biar ga bete." Katamu sambil kembali bermain. 
... 
"Tapi keren ga si kalo seseorang sampai bisa numbuhin bunga gitu di dirinya?" Tanyaku tiba-tiba menerawang. 
"Hah?"
"Tapi pasti sakit kan pas batuk-batuk ngeluarin kelopak bunga?"
"Astaga... Masih aja bahas hanahaki. Kebanyakan baca fanfiksi kamu tuh. Ga ada bukti pasti hanahaki tuh beneran ada di dunia."
"Ada pasti sebenernya. Kitanya aja yang ga tau ga si?" Tanyaku masih yakin. 
"Terserah deh. Aku mau ambil minum, sekalian ga?" Tanyamu beranjak. 
"Air putih aja. Bawain ke atas ya. Mau ganti baju karena ga jadi pergi." Kataku ikut beranjak menuju arah berbeda. 
"Ka...sian." Katamu mengejek dengan nada Upin&Ipin dan aku hanya bisa membalas dengan menjulurkan lidah. 
___
Tiba-tiba kamu terbatuk hebat bersamaan dengan suara petir diluar saat aku menceritakan seseorang yang mendekatiku di kantor. Kamu bergegas lari ke kamar mandi. Untung kamar mandi terletak tidak jauh dari ruang tamumu. Aku memutuskan mengambilkanmu minum di dapur sebelum menyusul ke kamar mandi. 
... 
"Udah gapapa?" Tanyaku mengikutimu berjalan kembali ke ruang tamu setelah kamu meneguk minum yang aku bawa. 
"Gapapa."
"Tapi mukamu kelihatan kenapa napa." Kataku khawatir. 
"Gapapa. Masih disini kan sampe ujan reda?" Tanyamu. 
"Iya. Kamu mau baring di sofa? Apa mau ke kamarmu aja?" Tanyaku balik. 
"Disini aja. Minggir." Katamu berusaha menyingkirkanku yang ada disebelahmu. 
"Iya iya." Kataku berpindah duduk. 
___
"Lama banget si angkatnya?" Kataku setelah kamu mengangkat panggilan dariku yang kesekian. 
"Kenapa?" Tanyamu tersendat seperti menahan sesuatu. 
"Kamu di mana? Aku lupa bawa payung lagi. Aku di halte."
"Ekhem... Sebentar lagi aku ke sana." Katamu langsung mematikan telepon. 
... 
"Kamu sakit ya?" Tanyaku saat kita jalan bersisian dibawah payung yang sama lagi. 
"Iya. Masih batuk-batuk."
"Kok bisa? Bukannya kemaren udah ke dokter minta obat?" Tanyaku sambil menyentuh keningmu yang tidak panas namun mukamu terlihat letih sekali. 
"Kenapa ga bilang? Tau gitu aku kan ga jadi ngerepotin." Kataku kali ini benar menyesal dan kamu kembali terbatuk. 
"Gapapa. Ini udah malem, bahaya kalo kamu jalan sendirian." Katamu tersenyum lembut mengusap kepalaku sambil menatapku. Aku yang diperlakukan seperti itu tiba-tiba menangis. 
"Loh kok nangis?" Tanyamu sebelum terbatuk. 
"Aku... Putus... Sama... Ega huhuhuhu" Kataku terputus-putus berusaha menjelaskan kronologisnya tapi kamu semakin parah batuk sampai berjongkok dan melepaskan payung yang melindungi kita dari hujan. Saat itu tangisku langsung berhenti menyaksikan kelopak bunga yang basah terbawa hujan dan melupakan fakta bahwa kita kebasahan. 
___
"Jadi kamu udah ketemu sama orang yang menumbuhkan bunga di paru-parumu?" Tanyaku. Kita sedang berada di kamarku karena kamu memaksa ada hal yang penting ingin kamu bicarakan. 
"Udah."
"Terus gimana? Kamu mau ngomong hal penting maksudnya mau ditemenin ketemu sama dia?" Tanyaku lagi. 
"Engga."
"Terus?"
"Aku tahu dia pasti ga punya perasaan yang sama tapi aku ga mau operasi dan melupakan semua kenangan yang ada."
"Jadi?"
"Aku mau pergi."
"Ke mana? Kamu yakin mau membawa itu sampai mati?" Tanyaku khawatir. 
"Tidak tahu."
"Siapa?"
"Apa?"
"Siapa yang bisa-bisanya take you for granted?" Tanyaku mulai kesal dengan keputusanmu yang membahayakan nyawa. 
"Bukan salah dia. Aku yang take her for granted selama ini." Katamu menggenggam tanganku. 
"Jadi siapa?" Tanyaku lagi kesal sekaligus penasaran. 
"Memang kalo kamu tahu kamu bakal ngapain?"
"Minta dia tanggung jawablah." Jawabku menunduk memperhatikan tangamu yang menggenggam tanganku. 
"Hey, ini bukan salah dia kan. Dia bahkan ga tahu apa-apa." Katamu mengembalikan pandanganku untuk melihatmu. 
"Tetap saja! Tante tahu?" Tanyaku lagi, masih tidak puas dengan solusi yang kamu katakan dan mencoba mencari dukungan agar kamu tidak pergi. 
"Tahu. Mami membiarkanku memutuskannya sendiri."
"Aku harus ngomong sama tante kalo gitu." Kataku bangun berusaha menuju rumahmu yang bersebelahan dengan rumahku. 
"Jangan! Aku kesini mau minta tolong kamu buat bantu jaga mami karena aku bakal jauh."
"Emang kamu mau ke mana si? Luar kota? Luar provinsi? Sampai ga bisa menyempatkan balik? Kapan kamu berencana pergi?"
"Pokoknya jauh dan akan sulit. Subuh nanti."
"Secepat itu? Kenapa kamu ga bilang? Aku jadi temen deket kamu kok ga peka si?" Kataku mulai menangis membayangkan kepergianmu. 
"Hey! Bukan salahmu, oke?" Katamu berusaha menenangkanku.
___
"Ma, aku ke rumah tante yaa..." Kataku sedikit berteriak karena mama sedang berkutat di dapur. 
"Iyaa.. Bawa toples yang di meja sekalian." Sahut mama. 
.... 
"Tantee~" Panggilku di depan pintu. Sayup-sayup aku mendengar suaranya yang menyuruhku masuk karena beliau sedang di dapur. 
"Tante baik?" Tanyaku dari belakang dan memeluknya sekilas. Mencoba melakukan apa yang menjadi kebiasaanmu dan mengurangi rasa bersalahku. 
"Baik. Kamu tiap hari ke sini apa ibumu ga ngomel?"
"Seneng mama malah kalo aku kesini. Ga gangguin karena berisik sama berantakin aja."
"Hahahaha... Padahal ga harus tiap hari juga kan?" Kata ibumu santai tapi aku malah merasa bersalah. 
"Maaf tante." Kataku tertunduk di meja makan. 
"Hei! Jangan minta maaf. Kamu gasalah sayang." Kata ibumu memelukku dan aku secara tidak sadar malah menangis. 
"Aduuh... Cup cup. Kok malah jadi nangis si kesayangan tante? Langitnya juga jadi sedih tuh. " Kata tante mencoba menenangkanku dan aku baru sadar kalau diluar hujan turun dengan deras. 
___
Saat ini... 
"Hujannya sudah reda ternyata. Sudah berapa lama aku melamun?" Tanyaku pada diri sendiri dan melihat jam di tangan. Bergegas bangkit dan berjalan meninggalkan halte. 
... 
"Malem mami~"
"Malem sayang." Balas ibumu saat aku menghampirinya di ruang TV. 
"Kamu pulang kerja bukannya ke rumah dulu ganti baju?"
"Kangen mami, tadi di jalan aku lihat bunga hydrangea jadi pengen mampir." Balasku memeluk ibumu. 
"Hahahaha... Dia tau aja ya kalo mami lagi kangen dia." Kata ibumu membalas pelukanku. 
... 
Setelah sepuluh menit berlalu aku memutuskan pulang.
"Aku pulang ya, mi." Kataku bangkit setelah memeluk ibumu sekali lagi dan memberikan kecupan di pipinya. 
"Iya sayang. Makasih ya. Salam buat mamamu." Kata ibumu tersenyum. 
___
Udah lama ya... Hari ini hujan turun tapi aku ga bisa langsung pulang karena ga bawa payung. Lebih tepatnya karena tidak ada lagi yang menjemputku. Padahal hujannya hanya sebentar. Kalo mengutip perkataanmu itu namanya evanescent, sesuatu yang berlangsung dalam waktu singkat, tapi aku malah terlalu asik melamun. Jadi aku langsung menyempatkan mampir ke rumah mami karena takut kemalaman. Eh... Aku akhirnya memanggil tante dengan sebutan mami. Sudah agak lama si, tapi mungkin aku baru ingat bercerita padamu. Apa dulu aku adalah jenderal yang memberontak ya? Mami selalu baik padaku walaupun aku malah menghilangkan nyawa anaknya.
Aku baru tahu arti bunga hydrangea seminggu setelah kepergianmu. 
Sepertinya aku malah yang take you for granted? Maaf ya tidak sempat membalas perasaanmu. Satu hal yang pasti, kalo ada kehidupan selanjutnya aku akan tetap menginginkanmu lagi. Semoga di kehidupan selanjutnya aku tidak terlambat. Kamu apa ga kejauhan ngangenin aku dari atas sana? 
Terakhir menutup ceritaku hari ini, aku kangen kamu. Selalu.
Tepat saat aku menutup jurnalku hujan kembali turun dengan deras bersamaan dengan air mata yang tidak aku sadari keluar begitu saja. Dalam hati aku meyakini bahwa itu adalah kamu yang menjawab perasaanku. Aku mungkin menyesal tidak dapat membalas perasaanmu tepat waktu, tapi aku bersyukur karena tiap hujan walaupun singkat aku akan selalu bisa mengenangmu. Aku yakin tidurku akan nyenyak karena hujan malam ini yang mengantarku ke alam mimpi.
-END- 

P. S. Thank you for Pavita for recommend this song When It Rains At Night - PENTAGON

Comments

Popular posts from this blog

Backstabber

Not Saying Word